Kamis, 15 April 2021

KÈ’ LÈSAP (1748 - 1750)

 PERANG KÈ’ LÈSAP (1748-1750)

Peristiwa Sejarah Berselimut Legenda

Oleh: Muhammad Rizki Taufan

Kè’ Lèsap? Nama ini sudah tidak asing lagi bagi sebagian besar orang-orang Madura. Banyak sekali ceritera-ceritera tentangnya, kisah dramatis yang amat fantastis, bahkan kisah ini juga “dikultuskan” sebagai asal muasal nama Bangkalan. Kendati demikian, masih banyak pula masyarakat Madura yang memperdebatkan keberadaan Kè’ Lèsap, maksudnya tentang kebenaran kisah ini. Sebagian dari mereka menganggapnya sebagai legenda belaka, namun sebagian dari mereka juga menganggapnya sebagai suatu peristiwa historis. Mari kita bahas satu demi satu.

Versi legenda, menceritakan kisah ini dengan penuh bumbu-bumbu fantasi, sehingga menghadirkan rangkaian ceritera yang cukup menarik, namun sungguh kabur. Pada versi ini, banyak sekali nama-nama tempat yang dikultuskan sebagai bagian dari kisah “perjalanan Kè’ Lèsap”. Misal kita mengenal beberapa nama, antara lain:

- Patemmon = berasal dari kata titik pertemuan

- Blega = berasal dari kata kembali

- Sampang = berasal dari kata persimpangan

- Pamekasan = berasal dari kata bekas

- Sumenep = berasal dari kata Ingsun Ngenep (Songennep)

- Burneh = berasal dari kata lèbur abinè (suka perempuan)

- Tonjhung = berasal dari kata ètonton sambi èkèjhungi (dielu-elukan sambil di-kidung-i)

- Jhuno’ = berasal dari kata èjhujjhu perro’na mrono’

- Bangkalan = berasal dari kata _Bhângka la’an_ (tewas sudah)

Hmmm, cukup menarik. Seolah-olah semua tempat yang disebutkan di atas baru saja muncul sebagai dampak dari peperangan Kè’ Lèsap. Lalu bagaimana dengan tinjauan historis dari semua tempat yang dikultuskan dalam legenda tersebut?

- Patemmon = (saya masih belum menemukan data otentik)

- Blega = Blega cukup tersohor bahkan jauh sebelum masa Kè’ Lèsap, misal kita ambil periodisasi Kerajaan Blega vs Kerajaan Arosbaya, yang terjadi pada masa pemerintahan Pangeran Tengah (R. Koro), bertahta tahun 1592-1621, sedangkan Perang Kè’ Lèsap dapat dipastikan berlangsung pada tahun 1748-1750

- Sampang = Sudah jelas bahwa Sampang termasuk kota yang sepuh, jika dibandingkan dengan Perang Kè’ Lèsap. Misal kita ambil periodisasi Kamituwo Sampang (tahun pasti belum terdata), kemudian era Kraton Madhegghân (1624-1680). Sudah jelas, Sampang bukanlah hasil kultus legenda Kè’ Lèsap

- Pamekasan = Peradaban di Pamekasan juga telah berlangsung lama, misalnya saja kita ambil periode pemerintahan Panembahan Ronggosukowati, yang sezaman dengan Panembahan Lemah Dhuwur di Arosbaya (Panembahan Lemah Dhuwur bertahta: 1531-1592). Tanpa diragukan, Pamekasan pun juga bukan “hasil dari Perang Kè’ Lèsap”

- Sumenep = Sumenep bahkan sudah banyak berperan aktif sejak masa Aria Wiraraja di abad XIII (1200-an), artinya kota ini merupakan peradaban sangat sepuh, dan tentunya telah lahir jauh sebelum era Kè’ Lèsap

- Burneh = (saya masih belum menemukan data otentik)

- Tonjhung = Tonjhung Sekar Kedhaton, sebagai pusat pemerintahan Madura pada kisaran tahun 1680 (pasca Perang Trunajaya), hingga tahun 1718 (kemudian dipindahkan ke Sembhilangan setelah huru-hara berkepanjangan), jadi sudah jelas pula bahwa wilayah ini lebih dahulu daripada ”ètonton sambi èkèjhungi”

- Jhuno’ = (saya masih belum menemukan data otentik)

- Bangkalan = Bagaimana dengan Bangkalan? benarkah berasal dari kata yang sangat ekstrim, “Bhângka la’an (tewas sudah)” ? Seperti yang kita ketahui bersama bahwa setelah Perang Cakraningrat IV berakhir, pusat pemerintahan Madura Barat telah dipindahkan ke Kota Bangkalan, yakni pada tahun 1747. Salah satu versi (pada buku Riwajat Madoera yang saya dapatkan dari Mas Agus) menyebutkan bahwa Kraton Kota Bangkalan telah berpindah dua kali, yakni Wang-Bawang (1747-1755/1756) kemudian dipindahkan ke Kraton Bangkalan yang sekarang merupakan wilayah KODIM Bangkalan (sejak tahun 1755/1756). Bila kita kembalikan pada Perang Kè’ Lèsap, terdapat selisih waktu yang sangat tipis, yakni hanya setahun saja setelah Panembahan Cakraadiningrat V yang ketika itu masih bergelar Pangeran Adipati Sacaadiningrat I memindahkan Kraton dari Sembilangan ke Bangkalan (Wang-Bawang), yakni pemindahan Kraton berlangsung pada tahun 1747, sedangkan Perang Kè’ Lèsap berkobar sejak tahun 1748 hingga 1750. Periodisasi ini cukup menarik dan sangat menjelaskan bahwa ketika itu kota dan Kraton Bangkalan telah ada, setidaknya setahun sebelum perang tersebut berlangsung. Jadi, jika kita ambil periode pemindahan kraton saja, asal muasal nama Bangkalan dari kata “Bhângka la’an (tewas sudah)” sudah terpatahkan dari sisi historis.

Lalu bagaimana legenda ini bisa muncul dan “menyelimuti” sejarah yang sebenarnya? Tentu ini menjadi misteri yang mengundang hal-hal kontroversial dan perdebatan panjang. Memang, versi sejarah telah terbuka seiring dengan data-data yang ada, namun versi legenda ini juga secara “de facto” diakui oleh sebagian besar masyarakat. Hal ini tidak terlepas dari unsur heroik pada diri Kè’ Lèsap. Kendati demikian, kita harus bijak untuk memilah, ceritera legenda cukuplah ditempatkan pada legenda, jangan sampai dijadikan sebagai tinjauan historis, dan untuk sisi historis kita memang perlu berangkat dari data-data otentik.

Satu hal lagi yang cukup menggelikan, yakni peta karya Chatelain tahun 1718, artinya usianya 30 tahun lebih tua daripada Perang Kè’ Lèsap, dan 29 tahun lebih tua daripada usia Kraton Bangkalan yang pertama. Peta ini menuliskan nama Bangkalan dengan ejaan yang sama (B-A-N-G-K-A-L-A-N), dan bahkan dengan lokasi yang sama pula seperti Kota Bangkalan saat ini. Sejarah semakin membingungkan. Wallaahua’lam bisshawwab.

Semoga, perjalanan sejarah Bangkalan, dapat terkuak satu per satu, demi generasi penerus di masa mendatang. Aamiin ya Rabb..


Referensi:

- Arsitektur Tradisional Madura Sumenep karya Z.M. Wiryoprawiro, tahun 1986, diperoleh dari Prof. Dr. H. Aminuddin Kasdi, M.S.

- Tutur legenda dan tutur sejarah dari Mbah R.P. Abdul Hamid Mustari Cakraadiningrat

- Sedjarah Madura: Sedjarah Tjaranja Pemerintahan Daerah-daerah di Kepulauan Madhura dengan Hubungannya, karya Zainal Fattah, tahun 1954, diperoleh dari Mbah R.P. Abdul Hamid Mustari Cakraadiningrat

- Manuskrip Pak Lesap bertuliskan aksara carakan (tahun tidak diketahui), diperoleh dari Om Adrian Pawitra

- Tutur legenda dari alm. Mbah R.M. Hasan Sasra

- De Opkomst X, karya De Jonge, tahun 1884, koleksi pribadi

- Madoera en Zijn Vorstenhuis (Gedenk Boek) karya R.A.A. Tjakraningrat, tahun 1936, koleksi pribadi

- Peta Jawa karya Chatelain tahun 1718, koleksi pribadi

- Riwajat Madoera karya R.P. Notosoedjono & R. Roeslan Wongsokoesoemo (tahun tidak diketahui), diperoleh dari Mas R.M. Agus La Hendra

- Tutur legenda dari Pak Drs. Didik Wahyudi

Senin, 22 Maret 2021

TATAK

TATAK
Angghidhân : Bustomi Ir. Kn


Atè bulâ ma' sajân pellay
Sokma sajân ngalanyar
Ḍâḍâ ngabbhlâk pon mokka' rosèya
Roso' talanjuk dhâddhi arè' lancor
Marghâ dhika pon nyèmpè
Rajâ ghâluḍhuk korang ojhân
Pagghun ta' bângal addhu aḍâ'

Marabhut panas apoy sekkem
Kampowan ngebbhul ka bun- embunan
Marḍâ marong ka bâng-abâng
Terkas ampos langngè' kapèng pètto'

Tapè dhika ma' adhina ghâlângghâng
Nyabâ bulâ pon bhârât kasanga
Ta' kabâtèr rempa'na langngè' mèra
Marghâ dhika coma ghenḍhâk bârângka
Nyopprè bulâ taḍâ' ajhina

Sanonto bulâ bân dhika
Paḍâ nongko' è buḍina pangonong
Paḍâ ngabbher è attas kalèlès
Paḍâ èkarana è attas lèncak
Sanat narabhâs tana ambet
Ngalatar monyèna peccot
Paḍâ amandirâ sopata
Jhung ghâlluwân ḍâpa' ka anjhir ponca bârâ'


Sampang, 16 Maret 2021

Kamis, 15 Oktober 2020

Asal-Usul nama "KAPAL MATEH" di Sambilangan

Kapal Mateh, mungkin sekilas tampak adalah sekedar bahasa lumrah yang terjadi sehari-hari dimana jika diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia bermakna sebuah kapal yang mati dan tidak berlayar. Tapi dibalik semua ini, Kapal Mateh yang dimaksud penulis disini adalah sebuah tempat yang terletak di Dusun Sembilangan Barat Desa Sembilangan Kecamatan Bangkalan Kabupaten Bangkalan Madura.

Kapal Mateh, saat ini adalah nama sebuah tempat dimana pada masa yang lampau terdapat pertempuran sengit yang memakan korban hampir seluruh isi kapal, baik mulai dari kapten kapal sampai dengan anak buahnya. Kapan hal ini terjadi ?
Tercatat dalam sejarah Madura bahwa pada kisaran tahun 1718 telah terjadi perhelatan besar diatas kapal antara raja Madura dengan Compegnie Belanda, dimana pada saat itu tiada lain dan tiada bukan adalah sang Panembahan Tjakraniengrat III.

Gusti Panembahan Tjakraniengrat III yang menyingkir dari tunjung sekar kdaton akibat menghindari pertumpahan darah dengan adiknya sendiri, yaitu Raden Djoerit, ia pun pergi ke kapal Belanda dan diterima dengan baik oleh Kapten Kapal. 
Tahukah kita sebenarnya dimana posisi kapal Belanda yang dinaiki oleh Gusti Panembahan saat itu ?, Disinilah kita akan uraikan sedikit tentang hal itu dimana pada uraian kali ini akan membuka suatu lokasi baru yang selama ini terpendam dan tidak pernah diangkat.

UJUNG PIRING adalah salah satu nama daerah dimana disitu terdapat pelabuhan besar dieranya setara dengan UJUNG ANYAR. Nama-nama yang dimulai dari kata Ujung ini merupakan nama-nama dimana disitu terdapat pelabuhan yang ramai digunakan pada masanya seperti halnya UJUNG KAMAL saat ini. Naah, disinilah dapat kami jelaskan bahwa sang raja agung Madura kala itu, Gusti Panembahan Cakraningrat III bersama dengan rombongan kecilnya yang terdiri dari istri-istri beliau, putra-putri dan pengawal beliau hendak pergi dan melalui pelabuhan ini. Beliau bersama dengan rombongan naik ke kapal Oestgeest milik Belanda di Pelabuhan Ujung Piring ini.

Sebagaimana penghormatan yang terjadi kepada raja-raja di Eropa, sedemikianlah perlakuan yang diberikan oleh segenap kru kapal Belanda tersebut beserta dengan Kapten Kapalnya. Disinilah letak awal terjadinya Cross Culture yang mengakibatkan pembantaian dan cikal bakal nama KAPAL MATEH itu sendiri.

Sebagaimana penghormatan-penghormatan yang terjadi di Negeri Eropa bahwasanya jika menghormati orang-orang agung, maka seseorang tersebut setelah bersalaman maka ia mencium / mengecup pipi orang yang agung tersebut. Naah disinilah letak benturan adat terjadi dimana pada adat ketimuran atau negara-negara wilayah timur hal ini dianggap sebagai sesuatu yang sangat kurang ajar sekali dan tidak memiliki etika. Dan ketika Kapten kapal tersebut mempraktekkan dua adat yang saling berbenturan tersebut dimana sang kapten kapal berniat menghormati tamunya sedangkan rombongan Gusti Panembahan, Raja Madura kala itu merasa sangat terhina dengan perlakuan seperti itu, maka ketika Kapten Kapal hendak mengecup pipi sang permaisuri, tak dapat dielakkan sang permaisuri pun terkejut dan menjerit sekeras-kerasnya memanggil Suaminya serta sekujur tubuhnya bergemetaran. Tanpa bicara sepatah katapun Gusti Panembahan langsung mencabut keris dipinggangnya dan langsung menusukkan nya ke tubuh Kapten kapal tersebut, tak ayal lagi, Kapten kapal Belanda tersebut langsung tewas seketika dan selanjutnya Gusti Panembahan Cakraningrat III mengamuk beserta Rombongan kecil tersebut membunuh seluruh isi kapal. 

Kapal yang berisi anak buah ratusan orang tersebut hampir tak menyisakan prajurit lagi. Hanya tertinggal sekitar 5 orang saja. Akibat pertarungan yang memakan waktu lama sehingga Gusti Panembahan yang melawan banyak orang tersebut mengalami kelelahan dan tenaga beliau melemah, sehingga salah seorang prajurit Belanda berhasil memukul tengkuk beliau dari arah belakang menggunakan benda tumpul dan Gusti Panembahan pun terjatuh. Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh para prajurit Belanda tersebut dan akhirnya Gusti Panembahan tewas diatas kapal tersebut. Kemudian dengan kejinya Prajurit Belanda itu memotong kepala Gusti Panembahan Cakraningrat III, tubuhnya dilempar ke laut dan kepalanya dibawa ke Surabaya untuk dilaporkan ke atasannya mereka. Kejadian tersebut diabadikan dengan Candra Sengkala "TANPA CATUR NGOYAK NAHKODA-1718 C"

Sejak saat itulah kapal Belanda yang dijadikan ajang pertempuran tidak seimbang dan memakan banyak korban itu ditinggalkan oleh penghuninya dan dibiarkan tergeletak begitu saja. Lama kelamaan lokasi kapal yg berada di tepian pantai selat Madura sebelah barat itu disebut oleh masyarakat dengan sebutan "Kapal Mateh". Sebutan yang sarat akan makna yang terkandung didalamnya sesuai alur cerita seperti yang telah diceritakan diatas. Adapun lokasi kapal mateh itu sendiri saat ini telah berubah dan disulap menjadi PT. WARAKO di Dusun Sembilangan Barat Desa Sembilangan Kecamatan Bangkalan Kabupaten Bangkalan. 

Demikian semoga menginspirasi.



Source : Mas Agus S.

Minggu, 02 Agustus 2020

Sultan Abdul Kadirun


GUSTI SULTAN CAKRAADININGRAT II

R. Abdul Kadir, sedemikianlah nama kecil dari Kanjeng Gusti Sultan Cakraadiningrat II Madura, dilahirkan pada Sabtu wage, Jam 11 Tanggal 25 Robiul Awal Saat Jabrail, wuku Lancir, mangsa keenam Windu Kara Tahun Jimakir, Sinengkala “Oyaging Awiyat Sabdaning Ratu”. Beliau adalah Putra Kanjeng Gusti Sultan Cakraadiningrat I di Madura dari Permaisuri. Beliau juga merupakan Putra Mahkota Gusti Sultan Bangkalan I tersebut.

Gb. By: RP. Chairil Latief

Suatu waktu R. Abd. Kadir diperintahkan oleh Ramandanya untuk menghadap ke Betawi dengan disertai 500 orang prajurit Kraton Madura beserta opsirnya. Setibanya di Betawi, R. Abd. Kadirun diberi pesanggrahan di Pasar senen dekat dengan kebun tempat Jenderal Hoopstraten. Selama di Betawi Gusti R. Abd. Kadirun dilayani oleh Brigadir Sandol. Pada malam Senin Gusti R. Abd. Kadir dipanggil menghadap Jenderal serta para pembesar di Betawi. Setelah beberapa bulan lamanya di Betawi, R. Abd. Kadirun kembali ke Madura dengan mampir terlebih dahulu ke Semarang. Beliaupun menghadap tuan Edeleer Van Rede di Semarang.

Tiga Tahun kemudian Pangeran dari Madura ini dijadikan wakil ayahandanya untuk memegang kendali di Madura. Penobatan beliau ini ber-sinengkala Swarga Murub Palenggahaning Ratu.

Suatu ketika di Cirebon terjadi pemberontakan Bagus Idum. R. Bagus Idum ini terkenal pandai dalam strategi perang dan tiada dapat dikalahkan. Cirebon pun akhirnya jatuh ke tangan R. Bagus Idum ini. Namun ketika datang pasukan Madura dibawah pimpinan R. Abd. Kadirun, pemberontak tersebut lalu berdamai saja dengan Gusti Pangeran dari Madura tersebut. Hal ini menimbulkan keheranan bagi semua pihak terutama bagi Belanda. Maka Gusti Pangeran memperoleh hadiah berupa keris model Jawa berhiaskan intan dan merah delima serta nilawiduri, begitu indah dan mempesona, ditanah Jawa dan Madura tiada keris seindah itu.

Ketika Inggris datang ke Jawa, Pangeran dijadikan pimpinan para Bupati di pantai Timur. Hampir setiap pagi dan petang Gusti Pangeran Abd. Kadirun beserta Adindanya (R. Palgunadi) memberikan pengajaran di Dinoyo Surabaya. RP. Purwa Daksina menjadi Kapitennya, RP. Notokosumo menjadi tetua dan RP. Singasari menjadi Sekretaris (Juru Tulis)nya.

Atas kehalusan budi pekerti, serta pengaruhnya yang dapat membesarkan hati para rakyatnya, selain juga terkenal akan kepandaian strategi perangnya, maka tidak lah heran jika ia sangatlah di sayangi oleh para pembesar hingga rakyat kecil sekalipun.

Pada hari Jum'at, tanggal 24 Sya'ban Tahun Djimakir, negeri Madura dan Jawa dikuasai Inggris dan yang menjadi Jenderal adalah Thomas Stafford Rafless. Karena rekam jejak serta ketangkasan, ketulusan dan kepandaiannya maka Gusti Pangeran dipercayai dan dihormati oleh Gubernur Jenderal Raffles dan terdengar pula oleh Ratu Inggris.

Beberapa waktu kemudian, Kanjeng Gusti Sultan Cakraadiningrat I wafat, dan dikebumikan di asta Aermata dengan sekitar 8000 pengiring baik dari para Bangsawan Madura, Para Ulama' dan para pedagang serta para rakyat Kecil turut serta mengiringi pemakaman Beliau. Kemudian Kanjeng Gusti Pangeran naik tahta dan mengganti kedudukam Ramandanya, beliau dinobatkan menjadi Sultan Madura pada hari Sabtu, 29 Robiul Awal dengan gelar KANJENG GUSTI SULTAN CAKRAADININGRAT II.

Dalam masa beliau, semua rakyat merasa mendapatkan perlindungan, negeri Madura aman dan makmur seperti keadaan dimasa ramanda Gusti Sultan. Selain itu juga Kanjeng Gusti Sultan sering memberikan Derma kepada para fakir miskin, para musafir, dan kepada Rakyatnya yang akan berangkat naik Haji diseluruh negeri Madura. Gusti Sultan sangat mencintai Rakyatnya, dimana hal ini beliau buktikan juga dengan membuka Masjid Kraton yang semula peruntukannya hanya untuk para priyayi dan keluarga Kraton saja, namun Gusti sultan membukanya untuk seluruh rakyatnya. Siapapun boleh beribadah didalamnya. Masjid yang dibangun oleh Gusti Panembahan Sedhomukti (Kakek Beliau) pada tahun Alip 1693 C ini selanjutnya dibuka penggunaannya untuk seluruh rakyat Madura. Maka tentu sangatlah banyak rakyat Madura beribadah didalamnya. Rakyat semakin paham dan memahami kepada agamanya, para tukang juga semakin meningkat ilmu pengetahuannya.

Tidak beberapa lama kemudian, pada hari Senin tanggal 13 Dzulhijjah pukul Sembilan Pagi, Kanjeng Gusti Sultan Cakraadiningrat II menobatkan Putranya yang bernama Gusti Raden Yusuf yang terlahir dari Gusti Ratu Ajunan menjadi Putra Mahkota dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Setjaadiningrat. Gusti R. Yusuf dikala utu berumur sepuluh tahun. Pada pagi harinya beliau dinobatkan menjadi Putra Mahkota, dan kemudian pada sore harinya beliau di Khitan.

Pada hari Senin, 9 Syawal tahun Dal, Pulau Jawa dan Madura diserahkan kembali Oleh Inggris kepada Belanda. Gubernur Inggris di Betawi kala itu adalah John Fendol, sedangkan yang menerima dari Belanda ada tiga orang yaitu : 
1. Meester Cornelis Commissaris general Hindia Belanda.
2. Alexander Gerart Filip Baron Van der Kapelen, Commandeur Nederland, Opper bevelhebber, Commissaris general Hindia Belanda.
3. Arnold Andrian Biskes, Schout bij nacht, commissaris Hindia Belanda.
Yang dua orang kemudian pulang kembali ke Belanda dan Baron Van der Kapellen menjadi Jenderal di Hindia Belanda.

Kanjeng Gusti Sultan Cakraadiningrat II ini dibantu oleh Patih yang bernama R. Adipati Purwanagara yang tiada lain adalah menantunya Gusti Sultan Sendiri. Sedangkan Juru Surat Dalem bernama R. Ario Mlojokusumo (RP. Singanagara). Tiada berapa lama kemudian, Pepatih R. Adipati Purwanagara pada hari Senin 18 Jumadil Akhir tahun Dal pindah ke Semarang hingga wafat, maka diangkatlah R. Ario Mlojokusumo menjadi Patih Gusti Sultan.

Pada tanggal 17 Jumadil Awal Tahun Ehe', istri muda Gusti Sultan yang bernama Ratu Wetan meninggal Dunia. Sedangkan Istri sepuh beliau, Kanjeng Gusti Ratu Ajunan Wafat pada hari Selasa Tgl. 17 Dzulkaidah Jimachir. Dan dikebumikan di Astana Masjis Kota Bangkalan.

Kemudian setelah 24 Tahun bertahta, pada usia 69 Tahun Kanjeng Gusti Sultan Cakraadiningrat II Madura berpulang ke Rahmatulloh pada malam Kamis, 11 Safar tahun Dal dan dikebumikan di Astana Masjid Agung Bangkalan.

Demikianlah sekelumit kisah Kanjeng Gusti Sultan Cakraadiningrat II Madura. Semoga Menginspirasi. Wallohuaklaam.

Tokoh Madura


TOKOH MADURA ABADI DALAM SEJARAH
Abadi pula pada Nama Jalan dan Gedung


1. Jl. Sidhingkaap

Panembahan Cakraningrat IV masyhur juga dengan gelar anumerta "Sidhingkaap". Yaitu memiliki makna "Sidho" (Wafat) di "Kaap de goe de hoop". Kaap de goe de hoop merupakan nama sebuah tempat yang terletak di Afrika Selatan. Tempat ini juga dikenal dengan sebutan Pulau Mati. Tempat ini dijadikan oleh Belanda sebagai tempat pengasingan. 

Setelah kegigihan melawan Belanda dan kemudian kalah perang sekira tahun 1745, Gusti Panembahan Cakraningrat IV ditangkap oleh Belanda dan kemudian diasingkan ke Pulau tersebut diatas. Hingga beliau wafat disana. Beliaupun akhirnya masyhur dengan sebutan "Sidhingkaap".

Kini nama beliau diabadikan menjadi nama sebuah jalan yang terbentang dari ujung Selatan Jalan Pesalakan sampai ke depan Masjid Mlajah Kecamatan Bangkalan. Jalan Sidhingkaap mengarah ke arah barat karena memang Posisi pusat kepemerintahan beliau pada masa itu berada kearah barat dari jalan ini. Kini tempat itu menjadi peristirahatan terakhir cucu beliau yakni RT. Abd. Karim yang merupakan putra dari RT. Wiroadiningrat yang diutus oleh ramandanya ke Bengkulu.

2. Jl. Trunojoyo

R. Nila Prawata yang dikemudian bergelar Pangeran Trunojoyo adalah salah satu Pahlawan Daerah Madura yang sempat menggetarkan Jawa dalam usahanya mengusir Penjajah Belanda dari bumi Nusantara. Kini namanya diabadikan menjadi nama sebuah jalan yang membentang dari depan Kantor Post Bangkalan sampai ke Pertigaan di Depan Swalayan Tom n Jerry Bangkalan.

Selain itu juga nama Pangeran Trunojoyo diabadikan juga menjadi nama sebuah pendidikan Tinggi di Bangkalan yaitu Universitas Trunojoyo yang kini statusnya telah ikut berubah menjadi Universitas Negeri.

3. Jl. K. Lemah Duwur

Kyai Lemah Duwur atau yang bernama Kecil R. Pratanu adalah Raja Islam pertama dari Kerajaan Islam Madura. Beliaulah pendiri Dynasti kerajaan Islam di Madura Barat ini, beliau berani mengubah kerajaan yang awalnya Hindu-Budha ini menjadi kerajaan Islam. Kini nama beliau diabadikan menjadi nama sebuah jalan yang membentang dari pertigaan ujung dari pada Jalan Panglima Sudirman dan Jalan...

4. Jl. Jokotole

Jokotole atau Secoadiningrat III adalah nama salah seorang Raja di Madura Timur, tepatnya di Sumenep. Sehubungan Ujung Anyar adalah Gerbang bagian Kulon Pulau ini pada masa itu selain Ujung Piring juga, maka Jokotole sering juga melewati Pelabuhan ini dalam perjalanannya. Istrinya yang bernama Dewi Ratnadi setelah mencuci muka dari air yang memancar dari bekas tancapan tongkat Jokotole tersebut dan bisa melihat sebagaimana orang normal dari yang sebelumnya mengalami kebutaan kini juga diabadikan menjadi nama sebuah Wilayah Kecamatan dengan nama Socah. 

Sedangkan Jokotole sendiri diabadikan menjadi nama sebuah jalan yang memotong Jalan Trunojoyo dan Jalan Pemuda Kaffa, membentang dari utara ke selatan hingga ke Pasar Senggol atau Kompleks Kodim Bangkalan dari arah Timur.

5. Jl. Abd. Karim

Kyai Abdul Karim adalah salah satu Ulama' di tanah Madura, sekaligus beliau merupakan guru dari Kanjeng Gusti Panembahan Cakraadiningrat V. Wilayah beliau disebut dengan Dul Kariman, ada beberapa generasi dari Kyai Abdul Karim ini yaitu Abdul Karim I, kemudian dilanjutkan oleh Abdul Karim II, Abdul Karim III, Abdul Karim IV dan Abdul Karim V.

Kyai Abdul karim ini juga yang meluruskan dan meninggikan salah satu tiang Sokoguru dikala Gusti Panembahan membangun Masjid Kraton (kini dikenal dengan nama Masjid Agung Bangkalan). Dimana tiang tersebut dari semula bengkok dan ukurannya kurang tinggi dengan cara membalutnya dengan kain kafan dan memikulnya keliling Kota, setelah kain kafan tersebut dibuka maka luruslah tiang tersebut dan cukuplah ukurannya.

Kini namanya diabadikan menjadi nama sebuah Jalan yang membentang dari ujung sebelah timur SMP N 2 Bangkalan sampai ke Ujung sebelah barat SMP N 3 Bangkalan.

6. Jl. KH. Moch. Kholil

KH. Moch. Kholil adalah salah satu Ulama' yang diperkirakan hidup dimasa Gusti Panembahan Cakraadiningrat VII, beliau mengajar ngaji dan menyebarkan agama islam didaerah Kademangan. Nama beliau kini di abadikan menjadi nama sebuah jalan yang membentang didaerah tempat tinggalnya dahulu. Jalan ini memotong antara Jl. Veteran dan Jl. HOS. Cokroamimoto membentang dari utara ke selatan sampai di pertigaan Jl. KH. Zainal Alim dan Jalan Soekarno-Hatta.

7. Jl. Singosastro

Letnan Singosastro adalah salah satu Tokoh Daerah yang merupakan Pejuang kemerdekaan Republik Indonesia dari para Penjajah. Kegigihan perjuangannya menjadikan namanya diabadikan menjadi nama sebuah Jalan yang membentang di depan Pendopo Agung Kabupaten Bangkalan sampai ke depan SDN. Kraton IV. Dijalan ini pulalah sering diadakan pertunjukan seni, dan merupakan central perayaan-perayaan dan kirab-kirab yang diadakan oleh Pemkab. Bangkalan.

8. Jl. S.A. Kadirun

Gusti Sultan Cakraadiningrat II atau yang lebih dikenal dengan sebutan Sultan Abdul Kadirun adalah sultan kedua Madura sejak system Kerajaan berubah menjadi system Kesultanan. Beliau lah yang membuka Masjid Kraton yang awalnya dipergunakan oleh keluarga Kraton saja, kemudian dibuka secara umum oleh beliau untuk Masyarakat. Kini nama beliau diabadikan menjadi nama sebuah Jalan yang membentang didepan Masjid Agung Kabupaten Bangkalan sekaligus juga diabadikan menjadi nama gedung Olahraga yaitu Gedung Olahraga S.A. Kadirun.

9. Ratu Ibu

Salah seorang perempuan Madura yg berjasa besar menurunkan raja-raja Islam Madura. Nama ini kini sudah diabadikan menjadi nama sebuah Gedung pertemuan agung yang berada ditengah-tengah ibukota Kabupaten Bangkalan. Gedung Ratoh Ebuh demikianlah nama ini abadi seiring dengan berdirinya gedung besar yang juga sering ditempati acara-acara tertentu baik oleh kalangan kepemerintahan maupun Masyarakat umum.

10. RP. Moh. Noer

Raden Panji Mohammad Noer atau dikenal pula dengan sebutan Gubernur sepanjang Hayat. Beliau adalah salah satu generasi dari Panembahan Mangkuadiningrat bin Sultan Cakraadiningrat I bin Panembahan Cakraadiningrat V.

Beliau banyak berjasa terhadap pembangunan baik di Tanah Madura maupun di Jawa Timur, campur tangan beliau juga dapat mengubah Status Universitas Bangkalan (Unibang) yang awalnya belum Negeri menjadi Unversitas Trunojoyo yang berstatus Negeri.

Kini nama Beliau diabadikan menjadi nama sebuah Stadion di Daerah Bancaran dengan nama Stadion RP. Moh. Noer.

11. Cakraningrat

Nama Dynasti raja-raja Madura. Hingga kini nama yang teramat masyhur sampai detik ini diabadikan menjadi nama sebuah museum di Bangkalan Madura. Museum Cakraningrat, Demikianlah nama museum Kabupaten Bangkalan yang terletak di Jl. Soekarno Hatta ini.


Nama - nama lain yang masih belum diabadikan.

1. Sedhomukti

Pendiri Kraton Madura Barat sebanyak 2x. Beliaulah pendiri awal sebuah peradaban di Bangkalan ini, beliaulah yang memindah Pusat kerajaan dari Kraton Sambilengan ke Kraton Bangkalan pertama didaerah Wang Bawang untuk kemudian mendirikan Kraton kembali di Sekitar KODIM saat ini. Menilik dari peristiwa tersebut, semoga nanti Kanjeng Panembahan Sidhomukti namanya diabadikan menjadi nama sesuatu semisalnya nama GEDUNG OLAHRAGA ataupun nama dari sesuatu yang lainnya.

3. Wasingsari

Panglima Perang Madura yang gugur dimedan Tempur melawan Penjajah Belanda dimasa Cakraningrat IV, Panglima yg gagah perkasa yang tidak pernah mundur walaupun pasukan musuh bergulipat jumlahnya dari pasukan negaranya. Namun nama ini seakan lenyap tak berbekas walaupun pengorbanannya dalam membela Madura sampai memisahkan nyawa dengan raganya.

4. Pangeran Musyarrif

Salah seorang Panotogomo Kerajaan Islam pertama Madura yang gugur akibat kekejaman Belanda di Ujung Pelabuhan Arosbaya bersama Pangeran Ronggo salah seorang pangeran kerajaan Arosbaya. Namun nama besarnya belum diabadikan menjadi nama sesuatu. Apakah pengabadian nama ini kelak akan terjadi atau tidak, hanya Alloh yang Maha Tahu.

5. Sunan Cendana

Sunan Cendana adalah salah satu Ulama' besar di Madura, banyak keturunan-keturunan beliau yang masih menjadi penyebar agama islam hingga kini. Beliau juga pernah diminta bantuan oleh Raja Madura dalam suatu expedisi sehingga beliau diberi gelar Pangeran Pronojiwo. Nama ini belum diabadikan menjadi nama apapun di Madura walaupun hanya sebuah nama Pasar semisal Pasar S. Cendana ataupun nama pada yang lainnya.


Semoga Menginspirasi.

Sabtu, 01 Agustus 2020

PANGERAN TENGAH - AROSBAYA


Tinggal Tunggal Marganing Tauchit, begitulah bunyi Candra sengkala atas wafatnya Gusti Panembahan Lemah Duwur, kemudian naik Tahta Putra Mahkota beliau yang bernama kecil R. Koro dimana kemudian setelah dinobatkan menjadi Raja di Arosbaya bergelar Pangeran Tengah.

Gambar by Wawan H.

Setelah pangeran Tengah naik tahta, Blega dan Sampang tidak berkenan berada dibawah kuasa Arosbaya, walaupun yang berkedudukan di Blega waktu itu adalah saudara dari Pengeran tengah, sama-sama terlahir dari permaisuri, namun Pangeran Arosbaya telah memerangi Blega sebanyak tiga kali, namun Blega tidak dapat dikalahkan. Blega menjadi kuat dikarenakan memiliki patih yang bernama Gusti Macan. Gusti Macan tersebut diatas jika membentak suaranya seperti Guntur, maka akhirnya Arosbaya mengajak damai kepada Blega.

Suatu hari, Pangeran Blega datang ke Arosbaya untuk berziarah ke makam Ramandanya, dikala kedua Pangeran tersebut bertemu dan berbincang-bincang, maka ditanyalah Pangeran Blega oleh Pangeran Arosbaya, yang manakah yang bernama Gusti Macan itu Adinda ?
Pangeran Blega pun menjawab bahwa Gusti Macan tidak ikut serta ke Arosbaya karena sedang sakit. 

Ketika hendak pulang ke Blega, Pangeran Arosbaya pun menitipkan sesuatu hadiah kepada Pangeran Blega untuk Gusti Macan, berupa kain sutera kuning. Setibanya di Blega, hadiah tersebut di berikan kepada sang Patih "Gusti Macan", dan Gusti Macan pun merasa girang dan senang hatinya mendapatkan hadiah dari Raja. Dan pada malam harinya kain itupun dijadikan Selimut oleh Gusti Macan, namun setelah terbangun dari tidur keesokan harinya, Gusti Macan merasa badannya kaku semua dan menyebabkan kematiannya, karena sesungguhnya kain tersebut telah dilumuri racun ganas.

Sepeninggal Gusti Macan, Pangeran Blega merasa ciut nyalinya dan merasa kecil hati, kemudian mengusulkan agar daerahnya disatukan dengan Arosbaya seperti dikala ayahandanya terdahulu. Dan setelah digabungkan tersebut, tanah Madura kembali menjadi makmur dan ramai.

Pangeran Tengah memiliki putra yang bernama R. Prasena, beliau terlahir dari seorang permaisuri yang berasal dari Madeggan-Sampang. Masyhur dengan sebutan Ratu Ibu. Tidak berapa lama kemudian Pada Candrasengkala NETRA PAPAT JAKSA PRABU, sebagai penanda akan meninggalnya Pangeran Tengah. Namun sehubungan R. Prasena masih kecil dan dibawa ibunya tinggal di Madeggan Sampang dan hidup disana bersama pamannya yaitu Pangeran Sentamerta sehingga kedudukan Ramandanya diteruskan oleh adiknya yang bernama Pangeran Mas. 

Demikianlah sekelumit kisah dari Pangeran Tengah, semoga semua nilai-nilai yang terkadung didalam kisah sejarah Madura ini dapat menginspirasi segenap generasi penerus Madura. Wallohuaklaam.

Panembahan Lemah Duwur


PANEMBAHAN LEMAH DUWUR

Gb. By. Wawan H.


Panembahan Lemah Duwur naik tahta meneruskan ayahandanya sebagai Raja Islam pertama di Madura. Gusti Panembahan Lemah Duwur didampingi oleh Pangeran Welaran sebagai Patih nya atas permintaan ibundanya, disamping itu juga Empu Bageno juga sebagai patih kedua. Panembahan Lemah Duwur atau yang bernama kecil R. Pratanu, terlahir dari perempuan yang sangat cantik rupawan, gemulai, indah dan mengagumkan, yaitu nyai Ageng Mamah. R. Pratanu memiliki dua saudara kandung yang lainnya yaitu Kyai Prakasa yang dikemudian hari bergelar Pangeran Welaran dan Kyai Pranata yang juga mesyhur dengan sebutan Pangeran Tanjung Pura. Sementara itu R. Pratanu tersebut naik Tahta pada tahun 1450 C dengan sinengkala SIRNO PANDITO KERTANING NAGORO.

Panembahan Lemah Duwur memiliki permaisuri yang berasal dari Madeggan, dan disebut Ratu ibu. Berputra : 
1. Pangeran Sidhing Gili
2. R. Koro
3. Pangeran Ambaliga (Pangeran Blega).
4. Pangeran Mas
5. Ratu Mas di Pasuruan, bersuami Pangeran Banggaran di Sampang.
6. Ratu Ayu Kasindaran
sedangkan putra-i yang terlahir dari ampiyan adalah sebagai berikut :
7. Ki Dipati Pakacangan
8. Pangeran Tumenggung
9. Pangeran Demang
10. Pangeran Pusponegoro
11. Pangeran Padmonegoro
12. Pangeran Ronggo
13. Mas Ayu Ireng
14. Mas Ayu Kuning
15. Mas Ayu Nusantara

Perjalanan Panembahan Lemah Duwur sebagai Raja dikerajaan Islam Madura kerap kali mencontoh perjalanan Sahabat Rosululloh, yakni Sayyidina Umar bin Khottob, masuk ke dusun-dusun seorang diri tanpa adanya pengawal dan pendamping. Beliau mencari orang-orang yang berlaku durhaka, jika beliau menemukan orang-orang berlaku durhaka tersebut, maka ia membunuhnya sendiri. Tanah Madura aman, damai dan makmur dibawah kuasa perintahnya, berikut Mlojo, Balega, Sampang juga dibawah kuasa titahnya.

Suatu waktu Gusti Panembahan Lemah Duwur berkunjung ke saudara tuanya di Kraton Pamellingan, yang bernama Panembahan Ronggo turunan dari Ki Dipati Pramono. Kedatangan Gusti Pamembahan Lemah Duwur di Kraton Pamellingan disambut dengan segala penuh hormat kebesaran kakandanya.

Sehari kemudian, Gusti Panembahan diajak berjalan-jalan oleh sang kakanda ke tambak mengambil ikan. Setibanya di tambak, para priyayi-priyayi Pamellingan disuruh mencebur mengambil ikan oleh Panembahan Ronggo, tanpa basa-basi para Priyayi Pamellingan langsung menceburkan diri ke Tambak tersebut dan menangkap ikan-ikan didalamnya. 

Gb. By. Wawan H.

Sedangkan Gusti Panembahan Lemah Duwur juga menyuruh para priyayinya untuk menangkap ikan-ikan didalam tambak tersebut, namun para priyayi Arisbaja masih menanggalkan pakaian mereka terlebih dahulu sehingga Gusti Panembahan lemah Duwur merasa sangat malu lalu Gusti Panembahan Arisbaja pergi pulang tanpa meminta diri kepada kakaknya. Tatkala hal tersebut diketahui oleh sang kakak, dan Gusti Panembahan Arisbaja tiada berpamit kepadanya, maka disusullah namun gagal mendapati adiknya tersebut.

Sementara itu, Gusti Panembahan Arisbaja terus dan terus berjalan tanpa henti hingga tiba lah beliau di Desa Larangan, Sampang. Melepas lelah sebentar dan bersandar di pohon Waru kemudian melanjutkan perjalanannya kembali.

Setibanya Gusti Panembahan Ronggo di Desa Larangan, kemudian bertanyalah Gusti Panembahan kepada orang ditempat tersebut, kemudian diterangkan bahwa Gusti Panembahan Arisbaja sudah melanjutkan perjalanan setelah bersandar di pohon waru itu sebentar. Kemudian Gusti Panembahan Ronggo menghunus Keris Pusaka Joko Piturun kemudian ditusukkannya ke Pohon Waru tersebut, kemudian beliau pulang kembali ke Kraton Pamellingan.

Rasa Malu Gusti Panembahan Arisbaja masih terus dirasakannya. Kemudian tiada berapa lama setelah kedatangannya di Arisbaja, Kanjeng Gusti Panembahan sakit bisul. Bisul tersebut sangat besar di punggungnya sebelah kiri, sehingga hal tersebut menjadi penyebab wafatnya beliau pada tahun 1512 C. 

Demikian sekelumit sejarah Gusti Panembahan Lemah Duwur, sang raja Islam di kerajaan Islam Pertama di Madura. Semoga menginspirasi para generasi muda Madura. 

Wallohuaklaam.


Kamis, 11 Juni 2020

PEMBUBARAN KERAJAAN MADURA



Setelah Putra Mahkota terakhir Pangeran Adipati Pakoeningrat Wafat dan disusul kemudian oleh Gusti Panembahan Tjakraadiniengrat VIII, Belanda melancarkan politik nya bertujuan untuk menghapuskan Kerajaan Madura secara keseluruhan. Proses demi proses dilakukan oleh penjajah tersebut, akhirnya Penghapusan kerajaan Madura terlaksana dengan surat keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda no. 2/C tanggal 22 Agustus 1885, berdasarkan kuasa dari Raja Belanda, ditentukanlah antara lain : 

  • 1. Pemerintahan sendiri Hindia Belanda dengan segala kewenangannya sepanjang yang masih Berlaku pada Pemerintahan Panembahan Madura dianggap TELAH DIHAPUSKAN, sedangkan daerah bekas Panembahan Madura dibagi dalam dua Kabupaten dengan nama BANGKALAN dan SAMPANG yang merupakan Pemerintahan Kabupaten dibawah Residen Madura. 
  • 2. Pemilikan tanah-tanah apanage (Desa-desa tegalan) yang diperuntukkan anggota barisan aktif maupun pensiunan DIHAPUS. 
  • 3. Untuk Masing-masing anak, famili dan anggota ketiga raja Madura terakhir, sebagai ganti dari hilangnya penghasilan mereka dibawah mendiang Pemerintahan sendiri dari tanah-tanah apanage, diberikan suatu tunjangan pribadi yang tidak dapat dihapuskan. 
  • 4. Kepada para Mantri yang bekerja pada pemerintahan sendiri Madura yang dulu, diberikan uang bantuan (Onderstandand). 
  • 5. Perhiasan-perhiasan yang dimiliki oleh Panembahan Madura yang dahulu begitu pula benda-benda bergerak dan tidak bergerak yang digunakan untuk pekerjaan umum Kabupaten Bangkalan dan Sampang, dijadikan milik Gubernemen Hindia Belanda. (Perhiasan-perhiasan ini sekarang ada di Museum Batavia Genootschap Jakarta Pusat untuk dipertontonkan kepada umum). 
  • 6. Barisan tetap dipertahankan sebagai Barisan Gubernemen dan hal seperti itu sementara menurut apa adanya dengan perkecualian bahwa menikmati hasil tanah dihapus sepanjang termasuk pada pribadi-pribadi korps, yang mana aturan-aturan tersebut diatas sebagai anggota keluarga Raja atau sebagai Hofmantri dapat memperoleh tunjangan atau onderstand dari Landskas. 
  • 7. Terhitung mulai tanggal 1 Nopember 1885, telah diangkat : 
1. Sebagai Bupati Bangkalan, Pangeran Suryonegoro.
2. Sebagai Bupati Sampang, Raden Ario Kusumoadiningrat.

Jumlah uang ganti rugi bagi tiga kategori tanah apanage seluruh nya berjumlah F 264.030 - setahun untuk Kabupaten Bangkalan saja. Setelah berjalan lima puluh tahun uang Onderstand turun menjadi f 66.000 - setahun. Sebenarnya apa Hak Belanda membubarkan Kerajaan-kerajaan di Madura, pendiri kerajaan Madura juga bukan, Hak Pewaris Tahta kerajaan juga bukan, sedangkan satu-satunya mereka adalah penjajah Negeri Madura, penjajah kekayaan alam bangsa ini.

Pendapat umum terhadap perubahan pemerintahan di Bangkalan adalah Jauh dari baik (sangat tidak baik disegala bidang). Terlebih lagi dikalangan anggota keluarga Panembahan yang telah wafat. Banyak dari kalangan Bangsawan dan para anggota korps Barisan yang tidak puas mengadakan pertemuan rahasia pada malam hari, dimana hal ini sangat tidak disukai oleh Belanda. Maka dengan surat rahasia tgl 12 Agustus 1885 didatangkan separuh batalion ke-I Infanteri dari Banjarmasin untuk menjamin keamanan didaerah Madura yang sudah menjadi Pemerintahan Langsung dibawah Residen Belanda. 

Sebagai salah satu bentuk protes terhadap pembubaran kerajaan Madura oleh Belanda ini maka Asisten Residen Verlof (Cuti), ketua Pengadilan Negeri juga cuti sakit ke Malang, Kapten Instruktur Barisan meninggalkan Posnya dan meminta berhenti dari Dinas Militer. Bupati Sumenep menyuruh Kapten Instruktur H.E. Munnicks De Jongh menggantikannya, Asisten Residen Bangkalan tidak ada dan diserahkan kepada Mr. J. Lubbink Weddik merangkap tugasnya sendiri. Pada masa tegang ini, Korps Barisan betul-betul mendapatkan pengawasan khusus dan mengubah suasana menjadi lebih menyenangkan dan menggugah kepercayaan. Penetapan aturan yang perlu dan pengangkatan Bupati Bangkalan dan Sampang dengan ketentuan akan berlaku mulai tanggal 1 Nopember 1885, namun peresmian pengumumannya harus terjadi sebelum tanggal tersebut, sehingga ditetapkan pada tanggal 7 September 1885. Pada tanggal 7 Sept 1885 jam 10.00 Residen O.M. de Munnick datang berkendaraan dengan menggunakan pakaian kebesaran Kraton dalam rapat umum yang terdiri dari kalangan Bangsawan Bangkalan, para pegawai Eropa dan Pribumi, para kepala Desa, Massa Rakyat pribumi dan timur asing. Sehingga : 
  • 1. Perubahan Pemerintahan daru Bekas Panembahan Madura yang meliputi Bangkalan dan Sampang di Proklamirkan. 
  • 2. Surat Keputusan Gubernemen diterjemahkan dalam bahasa Madura sehingga Jelas. Kemudian pada tanggal 31 Oktober 1885, Pangeran Suryonegoro dilantik Menjadi BUPATI Bangkalan oleh Residen Madura diikuti oleh Perayaan beberapa hari lamanya.
Kraton Kerajaan Madura dan bangunan-bangunan artistik dan bersejarah lainnya, begitu pula tujuh pintu gerbang masuk Kraton yang begitu anggun dan dianggap angker dinyatakan Bouwvalling dan tidak dapat ditempati serta diratakan dengan tanah. Ditempat yang sama dimana Kraton berdiri, maka dibangunlah rumah Kabupaten yang ditempati tahun 1891. Keturunan para Panembahan secara bertahap kehilangan hak-hak istimewanya dan tunjangan-tunjangan. Mereka melaksanakan semua peraturan yang datangnya dari Gubernemen dengan kata-kata "AMPON PASTENA". Suatu kata-kata yang pasrah dan Tawakkal.

Selasa, 09 Juni 2020

SILSILAH KERAJAAN MADURA

Kerajaan Madura adalah sebuah kerajaan islam yang berada di wilayah kepulauan Madura. Kerajaan ini mengalami dua kali masa perubahan sistem, yaitu dari kerajaan berubah menjadi Kasultanan kemudian berubah lagi menjadi Kerajaan sampai pada masa kemunduran, terbentuknya Negara Serikat Madura dan hingga akhirnya bergabung ke pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
gb. by. Riski T


PERPINDAHAN PUSAT KERAJAAN

1. Kerajaan Madura mengalami beberapa kali perpindahan pusat kerajaan, ia berdiri pertama kali sebagai kerajaan berpusat di Kraton Plakaran Arosbaya, tempat ini berlokasi di Bangkalan ke arah utara saat ini. namun disamping itu juga bahwa di Madeggan Sampang sudah berdiri pula Kraton tapi sebagai Kamituwo disana. Bentuk dan sistem nya berupa monarki absolut.

2. Dari Kraton Plakaran Arosbaya ini kemudian pusat pemerintahan dipindah ke Kraton Madeggan yang terletak di Sampang - Madura. Selama beberapa kurun waktu pusat kerajaan berada di Sampang. Sebenarnya disinilah tempat berawalnya leluhur raja Plakaran Arosbaya, namun saat itu masih belum sebagai kerajaan tapi merupakan kamituwo dibawah dari kerajaan Majapahit. Disinilah Jaka Petteng berada.

3. Kemudian Kraton dipindah kembali ke Tunjung Skar Kdaton, selama kurang lebih dua masa raja bertahta disini, dan akibat dari Kraton yang rusak karena buntut penyerangan pasukan Bali sehingga pusat kerajaan dipindah kembali ke sebuah pulau paling barat dari Pulau Madura yang diera terdahulu masyhur dengan sebutan "Bhere' Songai". Pusat kerajaan dipindah ke Kraton Sambilangan.

4. Kraton Sambilangan berlokasi di sebuah pulau terbarat dari pulau Madura. Kraton ini bertitik di kisaran 20 M dari Patirtan, tepatnya berada sebagian areal pemakaman. Pintu Sketeng sebagai pintu belakang paling timur dan pintu belakang yang terbuat dari batu sebagai titik tengahnya. Kraton Sambilangan selama kurun waktu kurang lebih dua puluh sembilan tahun berdiri disana akhirnya setelah Kraton Hancur akibat kalah perang dengan Belanda, Pusat Kerajaan pun dipindah ke Kraton Bangkalan.
gb. by. Riski T

5. Kraton Bangkalan berlokasi tepatnya di Kantor Kodim Bangkalan Saat ini dan sekitarnya. Di Kraton inilah terjadi dua kali perubahan sistem dari Kerajaan berubah menjadi Kasultanan untuk kemudian berubah lagi menjadi Kerajaan.

RAJA - RAJA MADURA

  •  1. PANEMBAHAN LEMAH DUWUR

Panembahan Lemah Duwur dapat di katakan sebagai Tonggak awal raja islam Pertama kali di Kerajaan Madura, Kerajaan ini berdiri sebagai kerajaan Islam, menjalankan roda kepemerintahan nya secara islami dan menganut sistem-sistem keislaman. Penobatan beliau dinyatakan dengan candrasangkala "SIRNO PENDOWO KERTANING NAGORO". yaitu tahun Jawa 1450 atau 1531.
Sri Paduka Gusti Panembahan Lemah Duwur dikenal sebagai pemeluk islam yang taat, konsekwen dalam ucapan-ucapan dan perbuatan sehari-hari. Beliau yang bernama kecil Raden Pratanu ini memerintah dalam kurun 61 tahun dari tahun 1531 sampai dengan 1592 beliau memerintah dengan arif dan bijaksana dan tidak ada kemelut berarti dalam kerajaan pada masa beliau ini. Rakyat hidup dengan makmur dan baik serta tatanan sosial berjalan dengan baik pula. Pada masa beliau inilah peradaban islam dimulai, disetiap rumah didirikan Musholla (Langgar) sebagai tempat ibadah juga sebagai tempat musyawarah dan berbagai macam kepentingan umum lainnya.

  • 2.  PANGERAN TENGAH

Pangeran Tengah yang bernama kecil Raden Koro adalah putra dari Panembahan Lemah Duwur. Beliau juga memiliki saudara yang menjadi penguasa di Blega yang bergelar Pangeran Blega. Namun Penguasa Blega tersebut tunduk kepada kekuasaan Arosbaya akibat misteri dibalik pakaian Kadal Kuning oleh Raja Plakaran kepada Patih Gusti Macan Putih sehingga Patih Macan Putih andalan Pangeran Blega tersebut meninggal dunia.
Pangeran tengah bertahta dari tahun 1592 sampai dengan 1621 dan memiliki permaisuri yang termasyhur dengan sebutan Kanjeng Ratu Ibu Sepuh dari Madegan Sampang. Beliau adalah saudara sepupu nya sendiri putri dari Pangeran Zuhra Jamburingin. Pada masa beliau inilah terjadi peristiwa berdarah yang sangat sadis dan menyedihkan. Peristiwa itu merenggut kehidupan sang penghulu Kraton yang bergelar Pangeran Musyarrif dan Patih Ronggo. Para beliau dibunuh dengan keji oleh Belanda tepat pada tanggal 6 Desember 1596 M. Tahun inilah Belanda menjejakkan kakinya di tanah Madura dengan tujuan untuk berdagang membeli rempah-rempah hasil pertanian dipulau ini. Pangeran Tengah wafat pada tahun 1621 M, dan dimakamkan di Makam Agung tempat Pemakaman para raja-raja Madura di Plakaran Arosbaya.

  •  3. PANGERAN MAS

Setelah Pangeran Tengah wafat, maka adik beliau yang bernama Pangeran Mas naik Tahta meneruskan kekuasaan di Kraton Plakaran Arosbaya. Selama tiga tahun beliau memerintah yaitu dari tahun 1621 sampai dengan 1624 keadaan negeri makmur sentosa, aman dan damai.
Dipenghujung tahun 1623 Madura kedatangan tamu tak diundang, ribuan pasukan Mataram menyerang Kerajaan Arosbaya, namun berkat kerjasama yang baik di Madura dari Kraton Plakaran, Blega dan semuanya, Akhirnya tamu-tamu bengis itu dapat dihalau dan para petingginya pun meregang nyawa menghadap Ilahi Robbi. Tumenggung Alap-alap, Tumenggung Ketawang bahkan Panglima perangnyapun harus wafat disini yaitu Pangeran Sujonopuro. Sehingga pasukan Mataram lari terbirit-birit ke atas kapal-kapal mereka. Pada awal tahun 1624 M, Pasukan Mataram melakukan penyerangan kedua kalinya dibawah Komando Ki Juru Kitting sebagai Panglima Perang. Pada penyerangan kali inilah Madura bersimbah darah, takluk dan kalah. Pangeran Mas pun dihukum mati oleh Sultan Agung.

  •        4. PANEMBAHAN TJAKRANIENGRAT I

Setelah Madura bersimbah darah, memerah dimana-mana akibat kebengisan pasukan Mataram menyerang Madura, dan salah satu putra Raja Arosbaya yang tersisa adalah R. Praseno, usianya masih muda belia waktu itu, R. Praseno menjadi Tawanan Perang Mataram namun kemudian diangkat menjadi anak angkat oleh Sultan Agung. Atas adilihungnya perangai, kepribadian, santun, adab tanggungjawab, tatakrama dan kepandaiannya yang luar biasa akhirnya meluluhkan hati Sultan Agung yang mau membunuhnya. R. Praseno tidak lagi dianggap sebagai tawanan perang dan memiliki hak dan perlakuan sama dengan putra raja, leluasa keluar masuk istana. Tepat pada 12 Robi'ul Awal 1045 H, bersama dengan grebeg Maulud, R. Praseno dinobatkan menjadi Raja Madura dengan Gelar Sri Paduka Gusti Panembahan Tjakraniengrat I melanjutkan tahta Ayahandanya dan Pamanda Beliau. Beliau bertahta dari tahun 1624 sampai dengan 1648. Namun walaupun beliau adalah raja Madura, tenaga dan pikiran beliau sangat dibutuhkan oleh Sultan Agung sehingga beliau lebih banyak berada di Mataram daripada di Madura. Panembahan Tjakraniengrat I wafat dan dimakamkan si Imogiri Yogyakarta pada tahun 1648. Beliau juga masyhur dengan sebutan SIDHINGMAGIRI.

  • 5.       PANEMBAHAN TJAKRANIENGRAT II

Setelah R. Praseno wafat, tahta kerajaan Madura dilanjutkan oleh Putra beliau yang bernama kecil R. Undagan. Setelah naik tahta kerajaan Madura, beliau bergelar Sri Paduka Gusti Panembahan Tjakraniengrat II. Pada masa beliau bertahta dari tahun 1648 sampai dengan 1707 inilah Pusat kerajaan dari Kraton Madeggan dipindah ke Tunjung Skar Kdaton yang berlokasi di Kecamatan Burneh Kabupaten Bangkalan saat ini. Gusti Panembahan Tjakraniengrat II terlahir dari permaisuri Kanjeng Ratu Ibu Syarifah Ambami, darah Ksatria dan darah Ulama' mengalir dalam dirinya, bersatu berpadu memadu kewibawaan beliau. Diceritakan bahwa beliau memiliki banyak istri dan selir, ada yang mengatakan 400 orang. Jika berkunjung ke Mataram, semua istri-istri nya dibawa sehingga tampak mirip seperti pasukan perang hendak menyerbu sebuah kerajaan. Pada masa beliau bertahta inilah terjadi suatu peristiwa yang menggetarkan Jawa, yaitu Perang Trunojoyo. R. Nilaprawata yang tiada lain adalah keponakan beliau sendiri, putra dari demang Mlojokusumo mengadakan perlawanan yang menggetarkan seluruh isi Kraton Mataram dan harus berakhir dengan ksatria sebagai pemberani menghadapi kekejaman Belanda dan antek-anteknya. Suatu sore ketika sepulang dari Mataram, Gusti Pamembahan sakit dan tidak dapat melanjutkan perjalanan pulang kembali ke Madura sehingga beliau menghadap Yang Maha Kuasa di Kamal. Maka masyhur lah beliau dengan gelar anumerta raja SIDHINGKAMAL atau Sidho Ing Kamal (Wafat di Kamal). Dimana hal ini terjadi pada tahun 1707 M. Sri Paduka Gusti Panembahan Tjakraniengrat II dimakamkan di Pemakaman Raja-raja Madura di Astah Aermata Arosbaya Bangkalan. Beliau ditandu dari Kamal menuju pemakaman pada saat itu, dan beliaulah Raja Pertama yang di Makamkan di Aermata Arosbaya.

  • 6.       PANEMBAHAN TJAKRANIENGRAT III

Setelah Panembahan Tjakraniengrat II Wafat, tahta dilanjutkan oleh putra beliau R. Sosrodiningrat. Sang putra mahkota naik tahta pada tahun 1707 bergelar Sri Paduka Gusti Panembahan Tjakraniengrat III, berkuasa selama kurang lebih 11 tahun dari tahun 1707 sampai dengan 1718. Beliau memegang tampuk kekuasan berpusat di Tujung Skar Kdaton. Pada masa beliau inilah hampir saja terjadi perang saudara, antara Pamellingan dengan Tunjung Skar Kdaton akibat dari masalah keluarga yaitu pertengkaran kecil keluarga antara Adikoro dengan istrinya yang merupakan putri dari Panembahan Tjakraniengrat III. Puji Syukur hal itu tidak sampai terjadi. Pada masa Panembahan Tjakraniengrat III inilah terjadi peristiwa berdarah akibat dari benturan adat antara adat ketimuran dengan adat eropa. Hal ini terjadi di perairan MENGAREH atau yang lebih masyhur dengan sebutan KAPAL MATEH di daerah pesisir barat Pulau Madura. Peristiwa itu bermula disaat Panembahan Tjakraniengrat III menaiki kapal Belanda, para krue kapal mengadakan salam kehormatan ala Eropa karena kedatangan Raja dan keluarganya. Pada saat Kapten Kapal bersalaman dengan permaisuri Raja, seperti hal nya penghormatan khas Eropa, maka Kapten kapal hendak mengecup pipi sang permaisuri, akibat hal tersebut, terkejutlah sang permaisuri raja, beliau berteriak keras memanggil Sang suami Gusti Panembahan Tjakraniengrat III, tubuhnya gemetar dan wajahnya pucat pasi. Melihat kondisi yang sedemikian, Gusti Panembahan Tjakraniengrat III pun marah dan langsung mencabut kerisnya dan menusukkannya ke Tubuh sang Kapten, tak ayal lagi sang kapten pun meninggal seketika. Akibat hal tersebut, mengamuklah seluruh anak buah kapten Belanda tersebut, mereka mencoba membunuh Sang Panembahan, tapi karena tubuhnya tidak mempan ditembak, akhirnya hampir seluruh anak kapal dapat dibunuh oleh Panembahan Tjakraniengrat III, setelah tinggal beberapa orang saja, Tjakraniengrat III kelelahan dan akhirnya dapat dilumpuhkan oleh anak buah kapal dengan dipukul kayu dari belakang. Akhirnya beliau pun wafat di kapal, kepalanya di penggal dan dibawa ke Surabaya oleh Belanda dan jasadnya dibuang ke laut. Gusti Panembahan Tjakraniengrat III masyhur pula dengan gelar anumerta SIDHINGKAP atau Sidho Ing Kapal.

  • 7.       PANEMBAHAN TJAKRANIENGRAT IV

Setelah "Peristiwa Kapal Mateh" tersebut, maka yang meneruskan tahta kerajaan Madura adalah adik beliau yang bernama kecil R. Djoerit. Setelah naik tahta R. Djoerit bergelar Sri Paduka Gusti Panembahan Tjakraniengrat IV. Beliau bertahta dari tahun 1718 sampai dengan tahun 1745. Pada masa beliau inilah banyak lika-liku yang terjadi di Madura. 1. Perpindahan Pusat Kraton dari Tunjung Skar Kdaton ke Kraton Sambilangan di Ujung barat Pulau Madura. 2. Pemberontakan Sunan Kuning di Surakarta 3. Gegap gempitanya perlawanan terhadap Belanda. Akhirnya, Panembahan Tjakraniengrat IV dibuang ke kaap de goe de hoop di Afrika Selatan, dan Wafat disana. Namun putra beliau memindahkan Janazah Gusti Panembahan Tjakraniengrat IV ke pemakaman Raja-raja Madura di Aermata Arosbaya pada hari Jum'at 03 Robiul Akhir 1678 Tahun Jawa atau 1753 M. Beliau juga masyhur dengan gelar anumerta SIDHINGKAAP atau Sidho Ing Kaap de Goe de Hoop.

  • 8.       PANEMBAHAN TJAKRAADINIENGRAT V

Setelah kalah perang dengan Belanda dan Gusti Panembahan Tjakraniengrat IV ditangkap dan diasingkan ke Kaap de goe de hoop, R. Surodiningrat diangkat menggantikan ayah beliau naik tahta di Kerajaan Madura. Tepat pada 15 November 1745 beliau naik tahta dengan gelar Sri Paduka Gusti Panembahan Tjakraadiniengrat V. Beliau mengatur kehidupan di dalam kerajaan Madura dari Kraton Sambilangan selama kurang lebih kurun waktu dua tahun. Kemudian Gusti Panembahan memindahkan pusat kerajaan ke Kraton Bangkalan. Gusti Panembahan adalah pemikir ulung, inovatif dan Cerdas. Disinyalir bahwa perubahan sistem Kerajaan kepada Kasultanan adalah buah karya beliau yang diaplikasikan oleh raja berikutnya yang tiada lain adalah putra beliau. Pada masa Gusti Panembahan Tjakraniengrat V inilah terjadi suatu peristiwa yg luar biasa, yaitu Pristiwa Lesab. Selama kurun waktu 1745 sampai dengan 1770 dibawah kepemimpinan Gusti Panembahan Tjakraadiniengrat V, negara dalam keadaan damai, makmur, hidup menjadi tenang, dan banyak tentara yang menganggur. Rakyat Bahagia, makmur sentosa. Gusti Panembahan berpulang ke haribaan Alloh SWT. Dalam keadaan damai, sehingga beliau masyhur pula dengan gelar anumerta SIDHOMUKTI atau Sidho Ing Mukti.

  • 9.       PANEMBAHAN TENGAH

Panembahan Tjakraadiniengrat V memiliki putra yang meninggal lebih dahulu dari pada ramandanya. Beliau bernama Pangeran Ario Soeroadiningrat (R. Abd. Djamali). Gusti Pangeran Ario Soerodiningrat memiliki putra bernama R. T. Mangkuadiningrat yang kemudian naik tahta melanjutkan kakek beliau dengan gelar Sri Paduka Gusti Panembahan Tengah. Beliau bertahta selama kurang lebih sepuluh tahun dari tahun 1770 sampai dengan 1780. Gusti Panembahan yang juga merupakan Putra dari R. Ayu Galuh yang berasal dari Kasepuhan Surabaya ini memiliki kepiawaian dan kecerdasan yang luar biasa. Pada masa Gusti Panembahan Tengah ini semua tentara menganggur dan tidak ada peperangan apapun. Kerajaan hidup dalam keadaan aman, makmur, damai dan sentosa. Beliau wafat pada tahun 1780 tanpa meninggalkan seorang putra pun dan dimakamkan di pemakaman raja-raja Madura Astah Aermata Arosbaya.

  •     10.   SULTAN TJAKRAADINIENGRAT I

Raja Madura berikutnya yang menduduki tahta Madura adalah Paduka Kanjeng Gusti Sultan Tjakraadiniengrat I. Beliau bernama kecil R. Tawangalun atau R. Abdurrahman, beliau lebih dikenal dengan sebutan Sultan Abduh atau Sultan Bangkalan I. Beliau bertahta dari tahun 1780 sampai dengan 1815. Pada masa beliau inilah sistem Kerajaan berganti menjadi Kasultanan Madura selama dua kali masa kepemimpinan. Dalam Kasultanan Madura, beliau memimpin dengan arif dan bijaksana berdasarkan sendi-sendi Islam. Bahkan beliau berwasiat jika beliau meninggal maka Makam beliau jangan ditinggikan melebihi sejengkal walaupun beliau seorang Raja, hal ini menunjukkan bakti sang Gusti Sultan kepada Agama Islam sebagaimana pengamalan beliau akan Hadist Shohih dari Rosululloh tersebut. Beliau sangat paham agama islam. Beliau memiliki dua orang putra yang sama-sama menjadi Raja diantara putra-putra beliau yang Lain. Gusti sultan Tjakraadiniengrat I menobatkan R. Abdul Kadir sebagai putra mahkota dan adik dari R. Abd. Kadir tersebut yang bernama R. Palgunadi menjadi raja pula di Kraton Pamellingan Pamekasan. Gusti Sultan memiliki empat orang istri, yaitu : - Mbok Ajeng Asmoro, - R. Ajeng Kadarmanik, - Mas Ajeng Dewaningsih, - Ratu Ayu Sepuh. Pada masa beliau inilah Kasultanan Madura memiliki Kereta Kencana Pertama kali. Gusti Sultan Tjakraadiniengrat I wafat pada tahun 1815 dibawah pemerintahan Inggris dan disarekan di pemakaman raja-raja Madura di Astah Aermata Arosbaya.

  •    11.   SULTAN TJAKRAADINIENGRAT II

R. Abdoel Kadir adalah putra ke dua dari tiga belas bersaudara, ibunya bernama R. Ay. Seruni cicit dari Gusti Panembahan Tjakraniengrat IV, namun situs arkeologis dari ibunda Kanjeng Gusti Sultan Tjakraadiniengrat II ini rusak akibat dirombak menjadi sebuah lokasi pondok di Bangkalan. R. Abdoel Kadir setelah naik tahta menggantikan ramanda beliau pada tahun 1815 bergelar SULTAN TJAKRAADINIENGRAT II. Beliau naik tahta pada tahun 1815 sampai 1847, pada tahun itu pula Kekuasaan Inggris atas Madura dikembalikan kepada Belanda oleh Sir Stamford Raffles (Wakil Kerajaan Inggris di Indonesia) pada Syawal 1743 H. Risalah tentang Sir Thomas Stamford Raffless ini banyak sekali berkaitan dengan Sambilangan - Madura. Karena sebelumnya Kanjeng Gusti Panembahan Tjakraniengrat IV pernah mengutus putra keempat beliau ke Bangkahoeloe untuk meminta Bantuan Inggris terkait dengan peperangan melawan Belanda, dan sang memorialist kepercayaan Sir Thomas Stamford Raffless juga berasal dari Sambilangan ex. Pusat Kerajaan ke empat itu. Kanjeng Gusti Sultan Tjakraadiniengrat II yang insyaAlloh diperkirakan lahir di tahun 1778 M memperoleh banyak sekali penghargaan demi penghargaan. Semua nanti akan kami tuangkan dalam artikel khusus yang menceritakan seluk beluk masing-masing Raja Madura dalam blog ini. Banyak kejadian penting terjadi pada masa beliau bertahta, diantaranya dibukanya Masjid Kraton yang dibangun oleh Kanjeng Gusti Panembahan Tjakraadiniengrat V (sekarang menjadi Masjid Agung Bangkalan) untuk Masyarakat secara umum yang sebelumnya diperuntukkan khusus untuk keluarga Kraton saja. Raja Generasi ke sebelas sejak Kanjeng Gusti Panembahan Lemah Duwur ini menutup usia pada umur 69 tahun di tahun 1847 M. Beliau di sarekan di Belakang Masjid Agung Bangkalan di pusat Kota Bangkalan bersama Ibunda Beliau.

  •     12.   PANEMBAHAN TJAKRAADINIENGRAT VII

Putra ke 7 (Tujuh) dari Kanjeng Gusti Sultan Tjakraadiniengrat II yang terlahir dari permaisuri sebagai putra mahkota yang bernama Kecil R. Moh. Yusuf naik tahta meneruskan ramanda beliau pada 08 Dzulkaidah 1775 Tahun Jawa bertepatan dengan 1847 M bergelar Panembahan Tjakraadiniengrat VII. Beliau bertahta dari tahun 1862 sampai dengan 1862. Gusti Panembahan Tjakraadiniengrat VII meninggal pada hari rabu, 29 Dzulkaidah 1790 Tahun Jawa bertepatan dengan tahun 1862 M dalam usia 58 Tahun. Dan Janazah beliau disarekan di belakang Masjid Agung Bangkalan bersama dengan Ayahanda Beliau. Pasarean beliau berdampingan dengan Kanjeng Gusti Maduretno, permaisuri Gusti Panembahan Tjakraadiniengrat V (Buyut Beliau). Pada masa Beliau inilah hidup seorang ulama' yang cukup masyhur yaitu Syaikhona Kholil bin Abd. Latief yang di sarekan di Martajasah Bangkalan.

  •     13.   PANEMBAHAN TJAKRAADINIENGRAT VIII

Sepeninggal Gusti Panembahan Tjakraadiniengrat VII, putra pertama beliau R. Moh. Ismail naik tahta kerajaan meneruskan ayahanda beliau dengan gelar Panembahan Tjakraadiniengrat VIII. Beliau bertahta sejak 1862 sampai dengan 1882. Secara hukum adat, beliau kurang memenuhi persyaratan sebagai penerus Tahta kerajaan sehubungan keterbatasan beliau yang bersifat fisik diantaranya mengalami gangguan pendengaran dan suara sekaligus karena tidak memiliki keturunan laki-laki, maka adik beliau yang bernama R. Abd. Djoemali dipersiapkan sebagai penerus tahta dengan Gelar Pangeran Adipati Pakoeningrat. Akibat kekurangan beliau inilah dimanfaatkan oleh Belanda sehingga hukum adat dikesampingkan dan beliau didampingi oleh R. Demang Mayangkoro sebagai kepanjangan tangan Belanda. Kanjeng Gusti Panembahan Tjakraadiniengrat VIII didampingi oleh sorang permaisuri bernama R. Ay. Suleha putri ke 3 Pangeran Sosroadiningrat, dimana puri beliau di Saksak Bangkalan (Sekarang Jl. Let. Ramli). Sri Paduka Gusti Panembahan Tjakraadiniengrat VIII berpulang ke Rahmatulloh pada 3 Syawal 1811 Tahun Jawa bertepatan dengan Kamis Legi 17 Agustus 1882 M Jam 05.15 Pagi dan Disarekan di Belakang Masjid Agung Bangkalan berdampingan dengan Sri Paduka Gusti Sultan Tjakraadiniengrat II Madura.

  •     14.   GUSTI PANGERAN ADIPATI PAKOENINGRAT

Gusti Pangeran Adipati Pakoeningrat bernama kecil R. Abdul Djumali, beliau merupakan putra Mahkota terakhir Kerajaan Madura yang dipersiapkan untuk menggantikan Sri Paduka Panembahan Terakhir, Gusti Tjakraadiniengrat VIII. Namun Alloh berkehendak lain, Sang Putra Mahkota berpulang ke Rahmatulloh tiga tahun lebih awal dari Sri Paduka Sendiri, tepatnya pada tahun 1879 M. Janazah Beliau dikebumikan di pemakaman Raja-raja Madura di Belakang Masjid Agung Kabupaten Bangkalan. Gusti Pangeran Adipati Pakoeningrat memiliki dua puluh (20) putra/i yang menurunkan generasi demi generasi hingga saat ini, dan seorang Permaisuri bernama R. Ay. Asia Putri dari Tumenggung Purwonegoro di Sampang. Demikianlah secara singkat silsilah kerajaan Madura, akhirnya akibat politik devide at impera Belanda, Penjajah Belanda mengatur siasat sedemikian rupa bertujuan agar kerajaan Madura dapat dibubarkan dan berada dibawah pengawasan langsung Penjajah Belanda. Hal ini sebenarnya mendapatkan banyak sekali pertentangan namun siasat Penjajah mencengkeram setiap sisi di Madura. Akhirnya sistem pemerintahan Kerajaan Madura dapat dibubarkan oleh Belanda dan menjadi pemerintahan langsung dibawah pemerintahan penjajah Belanda. Pemerintah penjajah Belanda mengeluarkan keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda no. 2/ C tanggal 22 Agustus 1885 tentang pembubaran Kerajaan Madura. Jadi berdasarkan keputusan-keputusan berikut :
1. Kep. No. 1/a Tgl 02 Agustus 1859 ttg pembubaran Kraton Pamekasan.
2. Kep. No. 5/C Tgl 18 Oktober 1883 ttg pembubaran Kraton Sumenep.
3. Kep. No. 2/C tgl 22 Agustus 1885 ttg pembubaran Kraton Sampang
4. Kep. No. 2/C Tgl 22 Agustus 1885 ttg Pembubaran Kraton Bangkalan.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa kerajaan Madura bukan membubarkan diri melainkan dibubarkan oleh Belanda dengan tujuan untuk menguasai dan menjajah Madura pada saat itu.

Minggu, 31 Mei 2020

System Kasultanan Madura


SYSTEM KESULTANAN MADURA






UNDER CONSTRUCTION

System Kerajaan Madura


System Kerajaan Madura


Setelah Madura takluk atas penyerangan Mataram awal tahun 1624, maka tepat pada tanggal 12 Robi'ul Awal 1045 H, pada acara grebeg Maulud, R. Prasena secara resmi diangkat menjadi raja Madura dengan gelar Pangeran Cakraningrat I, penobatan pun dilakukan di Kerajaan Mataram dengan upacara kebesaran kraton.

Tradisi kultural berupa kirab sepanjang jalan kota dengan diiringi pejabat-pejabat tinggi kerajaan beserta semua pusaka kerajaan ikut pula dikirab, kemudian dilanjutkan dengan penyerahan songsong emas dan pemberian uang tunai sebagai awal penyelenggaraan pemerintahan. Setelah selesai segala acara penobatan R. Prasena langsung diantar ke Madura didampingi para pembesar kerajaan Mataram.

1. Sistem Kepemerintahan.
Dalam penyelenggaraan kepemerintahan kerajaan Madura menganut sistem yang diterapkan oleh Mataram dengan membagi daerah menurut perwilayahanya. Penguasa-penguasa wilayah tersebut sejajar dengan Bupati. Seorang penguasa tunduk dan patuh terhadap segala perintah sang raja. Madura dikala itu dibagi menjadi tiga wilayah, yaitu :
• Sumenep
• Pamekasan
• Madura Barat (Sampang, Blega, Arosbaya).

2. Pemerintahan Jawi dan Pemerintahan Lebet
Gb. By Rizki T.

* Pemerintahan Jawi
Pemerintahan Jawi dikepalai oleh Raja, pelaksanaannya dipercayakan kepada pangeran Mangkubumi (Dipati) sebagai pejabat senior dalam pemerintahan dan berkedudukan langsung dibawah Raja. Oleh karena itu ia adalah pejabat yang paling dipercaya dan bertindak sebagai pengawas pelaksanaan pemerintahan kerajaan.

Adipati merupakan sesorang yang mendapatkan kekuasaan dan mendapat perintah langsung dari patih untuk menyampaikan kebawahannya. Dalam pemerintahan seorang Adipati juga dapat disebut sebagai patih, dan dalam keprajuritan adipati merupakan panglima prajurit

Bupati berada di bawah patih yang memiliki otonomi sendiri dalam menjalankan pemerintahannya. Dalam menjalankan tugasnya seorang bupati berpedoman pada perintah raja dan patih. Jabatan bupati dapat diisi oleh sentana dalem yang gelarnya disesuaikan dengan tingkatan keturunan (gradnya)

Tumenggung, merupakan pimpinan yang bertanggung jawab dan berhak memeriksa segala titah raja. Tumenggung juga berkewajiban merawat senjata milik raja serta bertanggung jawab atas perilaku baik-buruk temannya. Tumenggung adalah kontroler bagi raja, baik yang terbuka maupun rahasia.

* Pemerintahan Lebet meliputi :
• Gedong Nagari
Gedong Nagari mempunyai fungsi bagian perbendaharaan kraton, yang dikelola oleh seorang Wedana Gedong. Wedana Gedong mempunyai tugas mengurusi pemasukan kekayaan kerajaan, penetapan tanah lungguh, pajak dan kewajiban lain yang berhubungan dengan keuangan kraton.

Wedana, berarti pemuka. Pimpinan yang berhak sebagai mediator atau perantara pekerjaan serta wajib jadi teladan. Wadana diartikan sebagai pemimpin golongan priyayi dan atau kedistrikan. Wewenang dan kekuasaanya menjalankan semua perintah dari kerajaan untuk diteruskan pada bawahannya serta melayani perkara yang dibawa ke kantor atau kerajaan.

• Pengadilan Kraton
Pelaksanaan pengadilan Kraton dipimpin oleh Raja, jika berhalangan hadir maka Patih mewakili ditambah beberapa anggota termasuk penghulu dan yang lainnya dibawah pengawasan Raja.

• Penghulu Kraton
Kapengulon, begitulah lembaga keagamaan ini disebut, yakni menangani urusan-urusan keagamaan dan hukum keluarga. Penghulu Kraton juga bertindak sebagai imam masjid.
Hierarki jabatan dibawah penghulu (Pengoloh-Madura red) ialah :

1. Wakil Penghulu Kraton
2. Hatib (Ketib)
3. Modin (Pembantu Penghulu)
4. Muadzin
5. Marbot

• Paseban
Paseban merupakan tempat sidang kerajaan yang dikepalai oleh Raja. Paseban dikelola oleh Mantri Besar yang bertindak sebagai penghubung antara Raja dengan Patih, Mantri Paseban dibantu oleh Mantri Kabayan dan Lurah Kabayan, namun kegiatannya hanya terbatas di ibu kota saja.

• Rumah Tangga Kraton
Rumah tangga Kraton diketuai oleh Mantri Kraton, ia bertindak sebagai kepala Mantri yang membawahi Mantri Opas sebagai Kepala Pengawal Raja, Mantri Kusir sebagai kepala Kusir, Mantri Gamelan dan Mantri Wayang. Mantri Kraton juga disebut Lurah Kraton.

Punggawa, bertugas memimpin kegiatan upacara kenegaraan, selain itu punggawa juga dapat sebagai pengganti posisi patih jika berhalangan menjalankan tugas.

3. Pemerintahan Desa
Warga di organisir sebagai pemerintahan pedukuhan diketuai oleh Buyut, ia dianggap sebagai pendiri pedukuhan berperan sebagai Bapak dari keluarga pedukuhan dan bertindak sebagai pemimpin ritual dalam upacara pedukuhan.

Setelah itu pemerintahan pedukuhan digeser menjadi pemerintahan Desa yang dikepalai oleh seorang Lurah. Lurah diangkat oleh pemerintah kerajaan dan menjadi pejabat bawahan dalam struktur birokrasi kerajaan Madura.

Lurah memiliki dua fungsi sekaligus yakni sebagai kepala penyelenggara organisasi pemerintah dan sebagai penyelenggara organisasi produk. Keduanya bersatu dalam satu unit tunggal dengan pengurusan sebagai berikut : 

1. Secara kepemerintahan
Lurah bertugas mengurusi warga tentang keamanan, keagamaan, perpajakan, dan lain-lain yang diperlukan.

2. Secara organisasi produk
• Lurah mengurusi tanah milik Raja Pribadi atau tanah Daleman
• Mengurusi tanah yang dihadiahkan kepada para sentana atau kerabat kerajaan atau pejabat-pejabat kerajaan atau yang biasa disebut tanah perchaton.
• Lurah menunjuk petani untuk mengelola tanah Daleman dan tanah perchaton
• Lurah menunjuk orang-orang khusus untuk melayani kepentingan pribadi raja.
• Orang-orang yang ditunjuk oleh lurah tersebut untuk kepentingan kerajaan disebut wong negoro (Oreng Nagharah). Lurah berstatus lebih tinggi dari para warga yang tidak mempunyai kepentingan dengan Kerajaan.

Penyelenggaraan Pemerintahan Desa oleh kerajaan yang dilakukan oleh Lurah dibagi menjadi 4 (empat) macam pengaturan.

1. Desa Daleman
2. Desa Perchaton
3. Desa Perdikan
4. Desa Pedukuhan (Desa Biasa / Desa Buyut)

* Desa Daleman
Desa daleman merupakan desa yang didalamnya terdapat tanah pertanian milik Raja, disebut juga tanah Daleman. Tanah Daleman tanah-tanah subur milik desa yang dikuasai sebagai tanah pertanian milik pribadi raja dan menjadi sumber penghasilannya. Dikerjakan oleh petani yang ditunjuk Lurah.

* Desa Perchaton (Tanah Lungguh)
Desa perchaton adalah desa yang didalamnya terdapat tanah pertanian yang kurang subur, baik tanah basah maupun tanah kering, diberikan kepada keluarga kerajaan atau sentana sebagai imbalan jerih payah mereka dalam melaksanakan tugas kerajaan. Dan setiap tanah perchaton dikenakan upeti yang merupakan sumber pendapatan kerajaan.

* Desa Perdikan
Desa perdikan adalah suatu Desa yang tanahnya diperoleh dari pemberian atau hadiah dari raja terhadap seseorang. Pemegang tanah perdikan diorganisir sebagai pemerintahan Desa Perdikan, memiliki Kepala Desa perdikan dan pejabat-pejabat Desa Perdikan. Penguasa Desa perdikan langsung berhubungan dengan raja, para pejabat desa perdikan lebih mendahulukan kepentingan pemegang tanah perdikan daripada kepentingan masyarakat.

Desa Perdikan memiliki hak otonomi, sehingga menyerupai Negara Kecil. Status perdikan ditetapkan oleh raja kepada pemegang tanah perdikan, apakah perdikan dibebaskan dari semua pajak atau hanya merupakan pembayaran upeti pada raja (seperti Desa Jrengoan - Sampang).

Kepala Desa perdikan diizinkan menarik pajak kepada penduduk disitu sama besarnya dengan Desa-Desa yang lainnya.

* Desa Pedukuhan (Desa Buyut)
Pemerintahan desa Pedukuhan mengurusi kepentingan warga pedukuhan. Para Buyut berperan sebagai pemimpin pedukuhan sekaligus pemimpin Desa dan tetap dihormati oleh warga pedukuhan. Ia berperan dalam pemungutan pajak dari tanah hasil pertanian milik warga yangbtanahnya didapatkan secara turun temurun jauh sebelum kerajaan Madura berdiri.

Para buyut menyerahkan hasil pungutan pajak kepada pejabat gedong nagari, karena buyut bukanlah pejabat bawahan dalam struktur organisasi birokrasi kerajaan, maka ia tidak memiliki hubungan apapun dengan kerajaan.