KEHANCURAN KRATON
SEMBILANGAN
(PART I)
Berawal dari permintaan Sri Susuhunan
Pakubuwono II mengutus seorang kapten Belanda dari Ponorogo kepada Gubernur
Djenderal yang ada di Betawi dan kepada Gezaghebber di Surabayadengan maksud
meminta pertolongan Kompeni Belanda agar supaya menangkap Susuhunan Amangkurat
V (Sunan Kuning) dengan menjanjikan jika berhasilm akan memasrahkan kepada
Compagnie semua kabupaten-kabupaten yang terletak di pesisir. Oleh karena itu,
Gubernur Djenderal di Betawi mengirimkan utusan dan surat kepada Pangeran
Tjakraningrat IV meminta tolong sipaya beliau mengusir Sunan Kuning dari
keraton dan menghancurkan kaum pemberontak itu. Pangeran Tjakraningrat IV akan
memberikan pertolongannya dan mengusir kamu pemberontak itu dari kertosuro
dengan syarat jika berhasil, Tanah Jawa mulai disebelah timur Gunung Lawu
dibawah perintahkan kepada beliau dan keluarga beliau. Permintaan ini
disanggupkan oleh Gubernur Jenderal di Betawi.
Pangeran Cakraningrat IV mengirimkan
Pasukannya dan dipecah jadi dua. Yang pertama menuju Madiun dibawah komando Raden Djojosudiro dan Raden Sirnomenggolo, sedang yang kedua melalui kabupaten-kabupaten
dipesisir utara dari pulau Jawa yang ada dibawahnya termasuk daerah Semarang dibawah
komando Raden Wasingsari. Dan Akhirnya
Pangeran Cakraningrat IV memenangkan pertempuran tersebut. Namun Kompeni
Belanda mengingkari janjinya.
Akhirnya Pangeran Cakraningrat
mengirimkan dan menaklukkan Sumenep dan Pangeran Tjokronegoro melarikan diri ke
Surabaya dan meminta bantuan Kompeni Belanda, dan kompeni Belanda mengembalikannya
ke Sumenep dan ditetapkan menjadi Bupati jua disana sedangkan pasukan Bangkalan
kembali ke Bangkalan. Belanda juga mengirimkan pasukannya untuk menjaga dari
serangan Pasukan Pangeran Cakraningrat IV.
Pasukan Belanda menyerbu Juga Gresik yang
sudah ditaklukkan oleh Pangeran Cakraningrat IV dari Surabaya dan
pasukan Madura mengalami kekalahan dan Bupati Gresik yang tadinya menyingkir ke
Kerto Suro dikembalikan pula, kemudian pasukan Sumenep dan Pemekasan beserta
pasukan compeni Belanda yang menjaga di Sumenep berkumpul Pula dan membuat
pertahanan di Daerah Desa Tjerek ( Batas Kabupaten Sampang dan Pemekasan ),
sedangkan Pasukan Madura membuat Pertahanan Di Daerah Desa Batubesi atau (Kecamatan
Camplong Daerah Sampang ), pasukan Kompeni datang dengan membawa bala bantuan
dari betawi bergabung dengan pasukan Sumenep – Pemekasan.
Pertempuran terjadi didesa- desa kecamatan Camplong. Pasukan Madura mengalami
kekalahan hebat sehingga terpaksa kembali ke daerah Batubesi. Raden
Djojopramina, Wasing sari dan Djojosudiro memohon kepada Raden Tumenggung Sosrodiningrat
dan Ronodiningrat supaya beliau-beliau jangan berdiri di garis depan
pertempuran ,sedangkan mereka bertiga akan terus menembus pertahanan musuh dan
tidak akan takut mati, karena
mereka bertiga tidak suka melihat Madura kalah lebih baik mereka mati
sebelumnya, dan mereka bertiga telah cukup menerima
penghargaan dan kebijaksanaan dari Pangeran Tjakaningrat IV sehingga mereka tidak cukup dengan membalas
budi biasa saja. Maka kedua orang Tumenggung bersaudara itu
membalas dengan perkataan bahwa matahari tidak akan terbenam sebelum waktunya
dan tetap berdiri digaris depan pertempuran.
Tiba-tiba Raden Djojopramia dan Raden Djojosudiro dengan
pasukannya menyerbu kemuka melalui dua orang Tumenggung tadi, sedangkan Raden Wasingsari menyerbu di belakang kedua
pasukan tadi.Dua orang Tumenggung itu terus juga menuntut dari belakang ikut
menyerbu. Dengan demikian pasukan-pasukan kompeni Belanda
,sumenep dan pemekasan mengalami kekalahan dan menyingkir kesebelah timur
dengan terus dikejar oleh pasukan Madura Barat. Di dalam pasukan sumenep ada seorang sanak keluarga
Bangkalan bernama Raden Purwokusumo yang dulu pernah di buat malu oleh Raden
Djojopramia. Ia (purwokusumo) ikut memimpin pasukan sumenep ingin membalas dendam kepada Djojopramia. Maka Raden Djojopramia dan Djojosudiro di dalam
keadaan amat lelah mendapat serbuhan dari tenanga baru yang di
pimpin oleh Raden Purwokusumo tidak dapat mempertahankan diri sehingga mereka
berdua gugur didalam pertempuran itu. Leher dari kedua Raden itu di potong dan kepalanya di bawa kepada pengeran
Tjogronegoro sumenep, kepala-kepala mana menggigit bibir bawahnya dengan
kumisnya kelihatan masih tegak. Setelah tentara Sumenep melihat kedua kepala
tadi mereka sama-sama berteriak : “kepala
dua orang pemimpin pasukan Madura telah dating”, Maka
orang-orang yang mendengar suara teriakan itu sama-sama
melarikan diri bercerai-berai kerena menyangkan bahwa dua orang pemimpin Madura
itu mengamuk juga, Pangeran Tjokronegoro melarikan diri. Maka
setelah di ketahui orang yang sebenarnya itu dua kepala telah tidak ada
tubuhnya barulah mereka kembali dari tempat pelariannya. Yang demikian itu di
kemudian menjadi buah bibir, bahwa Raden Djojopramia dan Raden Djojosudiro
setelah matinya masih mengamuk kepada musuhnya.
Pasukan Madura terpaksa mundur ke sebelah
barat. Raden Wasingsari menunggu serangan musuh di desa kelampis (di antara Blega dan Torjun) . Disana terjadi pula pertempuran, akan tetapi pasukan Madura
tidak kuat mempertahankan diri di sebabkan datangnya pelor seperti air hujan. Maka Raden
Wasingsari gugur disana. Setelah Raden Wasingsari gugur, maka pasukan Madura
yang ia pimpin datang berkumpul dengan pasukan yang di pimpin oleh kedua
Tumenggung bersaudara itu. Kedua orang pemimpin itu tetap berdiri tegak di
tengah-tengah hujan peluru dari musuhnya,
oleh sebab itu tentara Madura tetap berbesar hati. Akan tetapi setelah hampir waktu masuk matahari kedua orang pemimpin itu merasa
kasihan terhadap tentaranya dan mengundurkan diri ke belakang mendekati tempat
pasang gerahannya. Setelah matahari terbenam, pertempuran di berhentikan. Raden
Tumenggung Sosrodiningrat mengirimkan utusan kepada ayahnya, bahwa Raden
Djojopramia dan Raden Djojosudiro telah sama-sama gugur. Setelah Pangeran
Tjakraningrat IV menerima berita itu, maka beliau amat terharu dan mengambil
kepastian bahwa perangnya tidak akan menang. Beliau mengirimkan utusan kepada
putra beliau yang menjadi bupati di Sedayu
agar supaya menarik pasukannya yang ada di tanah jawa agar supaya bupati Sedayu menyerahkan diri kepada kompeni Belanda, yang demikian
itu mengandung maksud agar supaya bupati masing dapat di beri kesempatan
berdiri memerintah di tanah Madura karena beliau khawatir nanti tanah Madura di perintah oleh Kompeni Belanda. Maka
bupati Sidayu setelah menerima titah ayahnya terus mengirimkan
surat kepada kompeni Belanda (Gesaghebber di surabaya dan Gesagvoerder dari kapal
perang belanda di tanjung pangka). Setelah berita tentang penyerahan diri bupati Sedayu terdengar juga
kepada pasukan kompeni Belanda yang ada di sumenep, maka pasukan tersebut menarik
kembali tentaranya begitu juga bupati sumenep dan pamekasan. kemudian Pangeran Tjakraningrat IV menyingkir ke Banjarmasin dan membawa
putra-putra nya : 1. Raden Tumenggung Sosrodiniongrat , 2. Raden Tumenggung
Ronodiningrat;
3. Rd.Aju Roman (R.Aju Sugih) dan
Raden Aju Demis(R.Aju Anom). Puteranya yang di kirim ke Bangkulen (Bengkulu di Sumatra) bernama Raden Tumenggung
Wirodiningrat terus tidak pulang kembali ke Madura , beristri disana dan
sekarang banyak keturunannya ada disana. Peristiwa ini terjadi dalam tahun
1745. Kompeni terus memasuki keraton di Sembilangan, dan menghancurkannya pada akhir masa kerajaan Madura.
(Bersambung ke “Kehancuran Kraton Sembilangan” (Part II).
Untuk Versi Lengkapnya silakan hubungi Blogger atau R.P. Abd. Hamid Mustari Cakraadiningrat selaku ketua Paguyuban Keluarga Kasultanan Bangkalan. Terimakasih.
0 komentar :
Posting Komentar