Kapal Mateh, mungkin sekilas tampak adalah sekedar bahasa lumrah yang terjadi sehari-hari dimana jika diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia bermakna sebuah kapal yang mati dan tidak berlayar. Tapi dibalik semua ini, Kapal Mateh yang dimaksud penulis disini adalah sebuah tempat yang terletak di Dusun Sembilangan Barat Desa Sembilangan Kecamatan Bangkalan Kabupaten Bangkalan Madura.
Kapal Mateh, saat ini adalah nama sebuah tempat dimana pada masa yang lampau terdapat pertempuran sengit yang memakan korban hampir seluruh isi kapal, baik mulai dari kapten kapal sampai dengan anak buahnya. Kapan hal ini terjadi ?
Tercatat dalam sejarah Madura bahwa pada kisaran tahun 1718 telah terjadi perhelatan besar diatas kapal antara raja Madura dengan Compegnie Belanda, dimana pada saat itu tiada lain dan tiada bukan adalah sang Panembahan Tjakraniengrat III.
Gusti Panembahan Tjakraniengrat III yang menyingkir dari tunjung sekar kdaton akibat menghindari pertumpahan darah dengan adiknya sendiri, yaitu Raden Djoerit, ia pun pergi ke kapal Belanda dan diterima dengan baik oleh Kapten Kapal.
Tahukah kita sebenarnya dimana posisi kapal Belanda yang dinaiki oleh Gusti Panembahan saat itu ?, Disinilah kita akan uraikan sedikit tentang hal itu dimana pada uraian kali ini akan membuka suatu lokasi baru yang selama ini terpendam dan tidak pernah diangkat.
UJUNG PIRING adalah salah satu nama daerah dimana disitu terdapat pelabuhan besar dieranya setara dengan UJUNG ANYAR. Nama-nama yang dimulai dari kata Ujung ini merupakan nama-nama dimana disitu terdapat pelabuhan yang ramai digunakan pada masanya seperti halnya UJUNG KAMAL saat ini. Naah, disinilah dapat kami jelaskan bahwa sang raja agung Madura kala itu, Gusti Panembahan Cakraningrat III bersama dengan rombongan kecilnya yang terdiri dari istri-istri beliau, putra-putri dan pengawal beliau hendak pergi dan melalui pelabuhan ini. Beliau bersama dengan rombongan naik ke kapal Oestgeest milik Belanda di Pelabuhan Ujung Piring ini.
Sebagaimana penghormatan yang terjadi kepada raja-raja di Eropa, sedemikianlah perlakuan yang diberikan oleh segenap kru kapal Belanda tersebut beserta dengan Kapten Kapalnya. Disinilah letak awal terjadinya Cross Culture yang mengakibatkan pembantaian dan cikal bakal nama KAPAL MATEH itu sendiri.
Sebagaimana penghormatan-penghormatan yang terjadi di Negeri Eropa bahwasanya jika menghormati orang-orang agung, maka seseorang tersebut setelah bersalaman maka ia mencium / mengecup pipi orang yang agung tersebut. Naah disinilah letak benturan adat terjadi dimana pada adat ketimuran atau negara-negara wilayah timur hal ini dianggap sebagai sesuatu yang sangat kurang ajar sekali dan tidak memiliki etika. Dan ketika Kapten kapal tersebut mempraktekkan dua adat yang saling berbenturan tersebut dimana sang kapten kapal berniat menghormati tamunya sedangkan rombongan Gusti Panembahan, Raja Madura kala itu merasa sangat terhina dengan perlakuan seperti itu, maka ketika Kapten Kapal hendak mengecup pipi sang permaisuri, tak dapat dielakkan sang permaisuri pun terkejut dan menjerit sekeras-kerasnya memanggil Suaminya serta sekujur tubuhnya bergemetaran. Tanpa bicara sepatah katapun Gusti Panembahan langsung mencabut keris dipinggangnya dan langsung menusukkan nya ke tubuh Kapten kapal tersebut, tak ayal lagi, Kapten kapal Belanda tersebut langsung tewas seketika dan selanjutnya Gusti Panembahan Cakraningrat III mengamuk beserta Rombongan kecil tersebut membunuh seluruh isi kapal.
Kapal yang berisi anak buah ratusan orang tersebut hampir tak menyisakan prajurit lagi. Hanya tertinggal sekitar 5 orang saja. Akibat pertarungan yang memakan waktu lama sehingga Gusti Panembahan yang melawan banyak orang tersebut mengalami kelelahan dan tenaga beliau melemah, sehingga salah seorang prajurit Belanda berhasil memukul tengkuk beliau dari arah belakang menggunakan benda tumpul dan Gusti Panembahan pun terjatuh. Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh para prajurit Belanda tersebut dan akhirnya Gusti Panembahan tewas diatas kapal tersebut. Kemudian dengan kejinya Prajurit Belanda itu memotong kepala Gusti Panembahan Cakraningrat III, tubuhnya dilempar ke laut dan kepalanya dibawa ke Surabaya untuk dilaporkan ke atasannya mereka. Kejadian tersebut diabadikan dengan Candra Sengkala "TANPA CATUR NGOYAK NAHKODA-1718 C"
Sejak saat itulah kapal Belanda yang dijadikan ajang pertempuran tidak seimbang dan memakan banyak korban itu ditinggalkan oleh penghuninya dan dibiarkan tergeletak begitu saja. Lama kelamaan lokasi kapal yg berada di tepian pantai selat Madura sebelah barat itu disebut oleh masyarakat dengan sebutan "Kapal Mateh". Sebutan yang sarat akan makna yang terkandung didalamnya sesuai alur cerita seperti yang telah diceritakan diatas. Adapun lokasi kapal mateh itu sendiri saat ini telah berubah dan disulap menjadi PT. WARAKO di Dusun Sembilangan Barat Desa Sembilangan Kecamatan Bangkalan Kabupaten Bangkalan.
Demikian semoga menginspirasi.
Source : Mas Agus S.
0 komentar :
Posting Komentar