SANG NATA DARI SEMBILANGAN
Part I
Setelah selesai
memadamkan pemberontakan Sunan Kuning Pangeran
Tjakraningrat IV telah memberikan
kraton Kertasura kepada yang sah, maka Pangeran
Tjakraningrat IV meminta kepada Kompeni Belanda supaya memenuhi janjinya, yakni menitah kuasakan Gunung Lawu ke Timur kepada
anak keturunannya, namun Belanda ingkar janji. Maka
Pangeran Tjakraningrat IV menerangkan apabila Kompeni tidak dapat memenuhi
janjinya, beliau hanya meminta Kabupaten Surabaya dan Kabupaten Sumenep serta
Kabupaten Sedayu dengan keterangan supaya Sedayu selamanya dikuasakan pada
keturunan beliau. Beliau mengirimkan dua orang puteranya ke Betawi dengan membawa surat kepada
Gubernur Jenderal. Yakni:
1) Raden Tumenggung Sosrodiningrat;
2) Raden Tumenggung Ronodiningrat
Setelah
beliau lama menunggu kedatangan kedua puteranya maka beliau mengirimkan utusan
ke Betawi untuk membawa pulang kembali kedua puteranya.
Sesampainya
kembali di Madura, maka beliau mengirimkan seorang puteranya ke Bengkulu, Raden
Temenggung Wirodiningrat (anak yang keempat) bersama dengan Raden Sang Nata
(anak Raden Ranadiningrat) ke Bengkulu untuk minta bantuan Kompeni Inggris.
Akan tetapi gagal, bahkan mereka akhirya menetap di Bengkulu. Kehadiran
kelompok elite keturunan Madura di Bengkulu ini, ternyata mendapat respon serta
sambutan terhormat dari kalangan elite pribumi setempat, Berikut isi petikan
dalam Naskahnya ;
" Maka
datang doea orang radja dari Madoera di gelar Radhen Temenggoeng Wiro
Diningrat, di gelar Radhen Sangnata menoedjoe kepada toeankoe Soengai Lemaoe
dan Daeng Maroepa, maka di lihat roepa orang patoet patoet, maka toeankoe
terima dengan patoet poela, maka dikoerniai tempatnja tinggal di kampoeng
Tengah Padang, lama-lama Temenggoeng Wiro Diningrat, dan Radhen Sangnata beristri
dan beranak di Bangkahoeloe."
Perkembangan selanjutnya, kelompok
elite keturunan Madura ini berhasil menjalin hubungan kekerabatan melalui
perkawinan dengan keluarga elite pribumi setempat. Raden Temenggung
Wirodiningrat menikah dengan Siti Juriyah, dan Raden Sang Nata menikah dengan
Sa’diah. Siti Juriyah adalah anak keturunan elite Bugis, sedangkan Sa’adiah
adalah anak keturunan elite Sungai Lemau
Raden Temenggung Wirodiningrat
selanjutnya diterima oleh kompeni Inggris sebagai perwira dalam korps yang terdiri
dari orang-orang Bugis. Berikut ini surat yang ditulis oleh anak keturunannya.
" kami ingin menerangkan kepada Tuan
bahwa pada tahun 1734 ketika Belanda menaklukkan Madura, almarhum kakek kami
yang bertempat tinggal di sana telah meminta almarhum ayah kami Raden
Temenggung untuk pergi ke Bencoolen mencari perlindungan di bawah pemerintah
Inggris yang dinikmatinya sampai akhir hayatnya, dan beliau ditunjuk sebagai
perwira dalam suatu korps yang terdiri dari orang-orang Bugis, yang penunjukan
itu diturunkan kepada kami dan anak-anak kami. Beliau mempunyai dua belas orang
anak yang hidup tinggal kami dan dua orang saudara kami perempuan.
Yang tertua di antara kami bertiga,
yaitu Raden Miradiningrat yang pada saat ini masih memegang jabatan sebagai
Kapten pada Korps Bugis yang diperolehnya pada tahun 1774, Raden Muhamad dan
Raden Abdul karim pada tahun 1794. Kami ingin
menambahkan, bahwa sejak kami mendapatkan kehormatan untuk melayani kompeni,
kami harus kerja agar layak mendapatkan perlindungan dan mematuhi segala perintah yang diberikan kepada
kami. Raden Muhamad luka parah pada perang Lehong yang dipimpin oleh almarhum
Kolonel Clayton dan telah mendampingi almarhum Kapten Adair dalam perang Longye
Tunang dan Pasummah. "
Raden
Temenggung Wiriodiningrat mempunyai dua belas orang anak. Sementara menurut
silsilah keluarga bangsawan Madura yang ada di Bengkulu, disebutkan bahwa anak
Raden Wiriodiningrat dengan Siti Juriyah berjumlah 9 orang. Adapun kedua belas (12) orang anaknya, yaitu:
1.
R. T. Wiroadiningrat (Abdul Rahman)
2. R. Tawang Alun
3. R.T. Aria Djanaka (R. Nakaningrat),
4. R. Demang Soeratama (R. Setomo)
5. R. Wirio
6. R. Mohamad Zein.
8. R. Ay. Rasmi
9. R. Ay. Sridjati ( Ratu Anom )
10. R. T. Santara
11. R. T. Prakongso
12. R. Ay. Boengsoe
Mengenai kondisi dan masalah di Bengkulu yang disampaikan ke
Batavia, tertanggal 9 Februari 1783, petikannya adalah sebagai berikut:
Ten tiende is de oudste zoon van
Radeen Tomangong, Radeen Taawoeng aloen Luitenant, de twelde genaamd Radeen
Tenga is na Madras, de derde genaamd Radeen Smaka is van de vierde genaamd
Radden Tama is bij wijn voeder vaendrig, en met dienselven na Padang onder T
gezag van Mastakries die als Admiral daarnatoe gezonden is, om aldaar else
sterkte te bouwen, zijnde de jongste zoon nog in geen functie.
Terjemahan
bebasnya sebagai berikut :
… yang kesepuluh, anak Tertua dari
Raden Tumenggung, Raden Tawang Aloen menjadi Letnan, anak kedua yang bernama
Raden Tengah menjadi kelasi, anak ketiga yang bernama Raden Smaka
menjadi prajurit, anak keempat yang bernama Raden Tama menjadi ajudan prajurit,
dan bersama dia dikirim ke Padang untuk mem- bangun pertahanan di sana. Anak
yang bungsu masih belum bekerja….
Selanjutnya Raden Temenggung
Wirodiningrat meninggal di Bengkulu pada bulan Februari 1790. Sementara Raden
Sang Nata sendiri mempunyai anak yang bernama R.A. Ratna Setaman yang kemudian
menikah dengan Daeng Adimelia. Sementara Raden Abdul Karim ke Sembilangan dan disarekan di sana setelah perang Lehong dan politik yang terjadi disana, memiliki anak dua
orang serta seorang
laki-laki yang tidak berketurunan.
Semoga Menginspirasi !
Source :
Het
Londonsche Tractaat van 17 Maart 1824, Bangkahoeloe, Zainal Fatah dan Catatan Kecil Keluarga
0 komentar :
Posting Komentar