Rabu, 07 November 2018

ABDOEL KARIM - SEMBILANGAN





HIKAYAT MAS ABDOEL KARIM - SEMBILANGAN
Part II
Pada bagian sebelumnya ( Sang Nata ) telah kita simak bersama tentang perjalanan utusan Keraton Sembilangan (Madura Barat) untuk meminta bantuan inggris di Bengkulu beserta dengan keluarganya, selanjutnya kami sajikan pada bagian ini tentang proses keluarnya Mas Abdoel Karim (Ndoel Kharim) dari Bengkulu menuju Sembilangan Bangkalan.

Mungkin tidak banyak di Indonesia yang tahu artinya akan “Treaty of London” atau Traktat London yang dua abad silam, terhadap jalannya sejarah bangsa Indonesia. Kolonial Inggris dan Kolonial Belanda membagi-bagi daerah kekuasannya termasuk didalamnya Indonesia.

Dua negara ini sebelumnya juga pernah menyepakati beberapa pembagian rute perdagangan lewat Anglo-Dutch Treaty atau Konvensi London pada 13 Agustus 1814. Kesepakatan “membagi-bagi” daerah kekuasaan di India dan Indonesia ditegaskan kembali pada Anglo-Dutch Treaty atau Traktat London pada 17 Maret 1824.

Traktat yang ditandatangani Hendrik Fagel dan Anton Reinhard Falck dari pihak Belanda serta George Canning dan Charles Watkin Williams Wynn dari pihak Inggris berisikan membagi wilayah perdagangan di Semenanjung dan Hindia-Belanda, di mana traktat itu berisikan tujuh butir pertimbangan:

1. Inggris diberi akses jalur perdagangan di Kepulauan Maluku, terutama Ambon, Banda dan Ternate.
2. Belanda menarik perwakilan di India yang sudah berdiri sejak 1609.
3. Inggris membubarkan pabrik Fort Marlborough di Bengkulu dan memberikan segala properti yang tersisa kepada Belanda.
4. Belanda membubarkan benteng Malaka dan berjanji tak membuka kantor perwakilan di Semenanjung Malaya, serta tak membuat perjanjian dengan penguasa lokal setempat.
5. Inggris menarik pasukannya dari daerah penguasaan Belitung dan menyerahkannya pada Belanda.
6. Belanda menarik pasukannya dari daerah penguasaan di Singapura dan menyerahkan daerah tersebut pada Inggris.
7. Inggris berjanji tak mendirikan kantor perwakilan di Kepulauan Karimun Jawa, Kepulauan Batam, Bintan, Lingin atau kepulauan lain di selatan Selat Singapura.



Traktat itu mengharuskan Inggris meninggalkan Pulau Jawa dan sepenuhnya dikuasai Belanda, sekaligus pembayaran kompensasi konflik sebesar 100 ribu poundsterling kepada Inggris yang sekaligus mengakhiri secara penuh kekuasaan Inggris atas Indonesia.

Sebagai konsekuensi dari Traktat London tanggal 17 Maret 1824, maka pemerintah Inggris harus menyerahkan pulau Sumatra (termasuk Bengkulu) kepada pemerintah Belanda. Sebagai  gantinya, pemerintah Inggris memperoleh Afrika Selatan, Srilanka, dan Singapura. Menurut rencana, serah-terimanya akan dilaksanakan pada tanggal 1  Maret  1825.  Wakil  kerajaan  Inggris di India bahkan mengusulkan agar pemerintah Belanda segera menerima  daerah Air Bangis, Natal, Tapanuli, dan  seluruh  pos yang terletak di Pantai Barat Laut Sumatera.  Akan tetapi rencana tersebut baru dilaksanakan pada bulan April 1825.

Wilayah Bengkulu sendiri secara resmi diserah-terimakan pada tanggal 6 April 1825. Sementara daerah Air Bangis, Natal, Barus, dan Tapanuli baru  diserah-terimakan pada bulan Juni 1825.
Sementara itu, kegelisahan juga muncul di kalangan elite pribumi keturunan Madura yang sudah lama menetap di Bengkulu dan mengabdi kepada Kompeni Inggris sebagai perwira militer yang tergabung dalam korps militer Bugis. Kekhawatiran mereka sangatlah wajar karena saat itu mereka masih menikmati gaji dari kompeni Inggris.

Kegelisahan merupakan proses dari ketidak-puasan terhadap kondisi yang tidak sesuai dengan harapan. Apabila terus menerus dibiarkan, maka akan timbul frustasi. Rasa frustasi selanjutnya dapat berkembang menjadi aksi dan agresi yang dapat berbentuk halus dan kasar. Bentuk halus sebagai protes suatu keadaan di antaranya adalah mengajukan protes secara tertulis. Itulah yang dilakukan oleh elite pribumi keturunan Madura yang tergabung dalam korps militer Bugis.

Untuk lebih jelasnya, berikut surat protes yang telah dikirim oleh Raden Mira Diningrat, Raden Muhammad, dan Raden Abdul Kharim kepada Residen Prince tertanggal 6 Oktober 1824, yang telah diterjemahkan, yaitu:

… Kami telah mendapat berita bahwa Kompeni Yang Terhormat bermaksud untuk mengadakan pertukaran dengan Belanda, yaitu Bencoolen dengan Malaka. Kami sangat  menyesal mendengar berita ini karena kami telah secara terus-menerus menikmati perlindungan Kompeni yang sampai saat ini menyokong kami dan keluarga kami, jika Kompeni bermaksud meninggalkan tempat ini, maka kami dan seluruh keluarga kami baik yang laki-laki maupun yang perempuan akan mematuhi, dan karena kami sangat miskin, maka dengan kerendahan hati kami mengharapkan agar Kompeni yang selalu bermurah hati akan membayar untuk rumah-rumah dan perkebunan-perkebunan kami, selain itu mengingat lamanya pengabdian kami, kami memohon pensiun yang besarnya sama dengan yang sekarang kami nikmati masing-masing.
Pensiun sebesar 30 Real untuk setiap keluarga kami harapkan dapat berlanjut. Kami memohon dengan hormat agar Tuan tidak berkeberatan menyampaikan pernyataan kami ini sebagai bahan pertimbangan Yang Mulia Gubernur Jendral di Dewan.

Surat pernyataan dari tiga orang wakil elite pribumi keturunan Madura yang telah menjadi Korps Bugis itu tampaknya menjadi perhatian dari Residen Prince. Oleh karena itu, Residen Prince segera mengirim  surat tersebut kepada Sekretaris Gubernur Lushington di Calcutta (India) tertanggal 9 Oktober 1824.

Oleh karena itulah, mereka kemudian mengajukan petisi kepada Gubernur Jendral Inggris di India pada tanggal 18 Oktober 1824. Adapun isi petisinya adalah meminta agar pemerintah Inggris meninjau kembali kebijaksanaannya mengenai pelaksanaan Traktat London pada tanggal 17 Maret 1824.

Mereka yang telah mengajukan petisi itu tercatat ada 41 orang, yang terdiri dari 36 orang Eropa (Inggris) dan 5 orang pribumi. Sebagian besar mereka adalah para mantan ambtenar Inggris serta para kerabatnya. Adapun 5 orang memorialist pribumi itu adalah:

1.      Raden Muhamad,
2.      Raden Abdul Karim,
3.      Raden Tumenggung (Mira Diningrat),
4.      Raja Malim, dan
5.      Daeng Indra.

Menurut silsilah keturunan raja-raja Balai Buntar (Sungai Lemau), Raja Malim adalah anak keturunan dari Pangeran Sungai Lemau, sedangkan Daeng Indra adalah anak elite Bugis dan elite Bengkulu.  Dengan demikian dapat dipastikan bahwa kelima orang pribumi itu adalah elite pribumi Bengkulu baik keturunan Madura maupun keturunan Bugis.

Surat protes tersebut ditulis pada tanggal 15 September 1826, yang ditanda-tangani oleh 12 orang pribumi, yaitu:

1.      Pangeran Linggang Alam (Sungai Lemau),
2.      Pangeran Raja Kalipah (Sungai Itam),
3.      Daeng Mabella,
4.      Datuk Tjaga Nagarie,
5.      Datuk Anies,
6.      Datuk Makoedam,
7.      Datuk Raja Bulang,
8.      Letnan Raja Malim,
9.      Datuk Mantiko Raja,
10.  Datuk Raja Alam,
11.  Datuk Tjayo Maharaja,
12.  Datuk Intjiek Moeda.

Mereka memprotes keras terhadap kebijaksanaan pemerintah Inggris yang akan membawa serta para istri dan anak-anak pribumi Bengkulu pergi menyeberangi pulau, karena bertentangan dengan hukum adat yang berlaku di Bengkulu.

Menurut adat limbago, semua perempuan dan anak-anak yang belum baliq tidak diperbolehkan pergi jauh keluar dari negeri Bangkahoeloe (Bengkulu).  Adat larangan itu menurut pengakuan mereka sudah berlaku sejak zaman sebelum Inggris menetap Bengkulu.

Tampaknya surat protes para kepala pribumi Bengkulu itu kemudian dijadikan dasar argumentasi politis oleh Residen Belanda Verploegh, untuk menahan keberangkatan kapal Louisa yang akan mengangkut orang-orang Inggris bersama para pelayannya. Oleh karena itulah, maka John Prince selaku penanggung-jawab atas jalannya serah-terima wilayah Bengkulu oleh pemerintah Inggris kepada pemerintah Belanda, juga mengajukan protes kepada Residen Verploegh.

Menurut John Prince, pemerintah Belanda (Verploegh) tidak mempunyai alasan yang kuat untuk menahan keberangkatan kapal Louisa, karena larangan tersebut tidak termasuk ketentuan dalam Traktat London.

Kepergian orang-orang Inggris beserta para pelayannya termasuk Raden Abdul Kharim menurut penyelidikan Prince, merupakan keinginan mereka sendiri, bahkan mereka ingin segera mungkin meninggalkan Bengkulu. Dengan catatan, setelah mereka berhasil menjual seluruh harta bendanya meskipun banyak mengalami kerugian.


Source :
1.      Request dd. 6 October 1824 van de madoereesche Radens Mira di Ningrat, Mahomed en Doel Karim aan Resident Prince, yang berisi permohonan para bangsawan Madura yang telah mengabdi kepada Inggris agar diberikan tunjangan pensiun sehubungan dengan serah terima wilayah Bengkulu kepada pihak Belanda,
2.      Relaas van de Anachodas Daing Soepoe en Boegis. Wegens de Staat en Gelegenheid van Bancahoeloe Gegeven te Batavia, 1783, yang berisi tentang keadaan Benteng Marlborough, para kepala pribumi Bengkulu, serta para anak keturunan Raden Tumenggung Wiriodiningrat.
3.      Memorie Betrekkelijk de Bezitting Benkoelen om te Dienen tot Leiding van de Ambtenaar, Welke nu af en de Vervolge met het Gezag aldaar zal Worden Belast, 1826, yang berisi seluk beluk kehidupan para Pangeran pribumi Bengkulu, dan Daeng Mabella, terutama dalam kaitannya dengan pergantian jabatan serta gaji yang diterima dari pemerintah Belanda.
4.      Geslachts- lijst der Ondervolgende Inlandsche Hoofden 1860, 1861, Adsisten Residentie Benkoelen, J.A.W. van Ophuijsen, memuat daftar nama elite pribumi keturunan Madura serta kerabatnya yang menjadi pejabat birokrat kolonial Belanda.
5.      Surat protes para kepala pribumi Bengkulu kepada Residen Belanda, Verploegh tertanggal 15 September 1826, (Arsip Nasional B: 56/4), yang berisi protes atas pemberangkatan kapal Inggris yang akan membawa istri-istri dan anak-anak pribumi Bengkulu ke luar pulau, karena bertentangan dengan hukum adat mereka
6.      Brief dd. 7 September 1824 van Resident Prince aan Goerge Swinton te Calcutta, yang melaporkan kegemparan di kalangan para kepala pribumi Bengkulu yang memprotes terhadap kebijaksanaan Inggris yang akan menyerahkan wilayah Bengkulu kepada pihak Belanda.
7.      Brief dd. 7 September 1826 van Price aan den Gouvernements Secretaris Lushington, yang berisi laporan Prince kepada Lushington tentang ketidakpuasan penduduk yang berkebangsaan Inggris yang ingin segera pergi meninggalkan Bengkulu setelah dapat menjual semua harta benda miliknya.


0 komentar :

Posting Komentar