HIKAYAT MAS ABDOEL KARIM - SEMBILANGAN
Part
II
Pada bagian sebelumnya ( Sang
Nata ) telah kita simak bersama tentang perjalanan utusan Keraton Sembilangan
(Madura Barat) untuk meminta bantuan inggris di Bengkulu beserta dengan
keluarganya, selanjutnya kami sajikan pada bagian ini tentang proses keluarnya Mas Abdoel Karim (Ndoel Kharim) dari Bengkulu menuju Sembilangan Bangkalan.
Mungkin
tidak banyak di Indonesia yang tahu artinya akan “Treaty of London” atau
Traktat London yang dua abad silam, terhadap jalannya sejarah bangsa Indonesia.
Kolonial Inggris dan Kolonial Belanda membagi-bagi daerah kekuasannya termasuk
didalamnya Indonesia.
Dua negara ini sebelumnya juga
pernah menyepakati beberapa pembagian rute perdagangan lewat Anglo-Dutch Treaty
atau Konvensi London pada 13 Agustus 1814. Kesepakatan “membagi-bagi” daerah
kekuasaan di India dan Indonesia ditegaskan kembali pada Anglo-Dutch Treaty
atau Traktat London pada 17 Maret 1824.
Traktat
yang ditandatangani Hendrik Fagel dan Anton Reinhard Falck dari pihak Belanda
serta George Canning dan Charles Watkin Williams Wynn dari pihak Inggris
berisikan membagi wilayah perdagangan di Semenanjung dan Hindia-Belanda, di
mana traktat itu berisikan tujuh butir pertimbangan:
1. Inggris
diberi akses jalur perdagangan di Kepulauan Maluku, terutama Ambon, Banda dan
Ternate.
2. Belanda
menarik perwakilan di India yang sudah berdiri sejak 1609.
3. Inggris membubarkan pabrik Fort
Marlborough di Bengkulu dan memberikan segala properti yang tersisa kepada
Belanda.
4. Belanda membubarkan benteng
Malaka dan berjanji tak membuka kantor perwakilan di Semenanjung Malaya, serta
tak membuat perjanjian dengan penguasa lokal setempat.
5. Inggris
menarik pasukannya dari daerah penguasaan Belitung dan menyerahkannya pada
Belanda.
6. Belanda menarik pasukannya dari
daerah penguasaan di Singapura dan menyerahkan daerah tersebut pada Inggris.
7. Inggris berjanji tak mendirikan
kantor perwakilan di Kepulauan Karimun Jawa, Kepulauan Batam, Bintan, Lingin atau
kepulauan lain di selatan Selat Singapura.
Traktat itu mengharuskan Inggris
meninggalkan Pulau Jawa dan sepenuhnya dikuasai Belanda, sekaligus pembayaran
kompensasi konflik sebesar 100 ribu poundsterling kepada Inggris yang sekaligus
mengakhiri secara penuh kekuasaan Inggris atas Indonesia.
Sebagai konsekuensi dari Traktat
London tanggal 17 Maret 1824, maka pemerintah Inggris harus menyerahkan pulau
Sumatra (termasuk Bengkulu) kepada pemerintah Belanda. Sebagai gantinya,
pemerintah Inggris memperoleh Afrika Selatan, Srilanka, dan Singapura. Menurut
rencana, serah-terimanya akan dilaksanakan pada tanggal 1 Maret
1825. Wakil kerajaan Inggris di India bahkan mengusulkan agar
pemerintah Belanda segera menerima daerah Air Bangis, Natal, Tapanuli,
dan seluruh pos yang terletak di Pantai Barat Laut Sumatera.
Akan tetapi rencana tersebut baru dilaksanakan pada bulan April 1825.
Wilayah Bengkulu sendiri secara
resmi diserah-terimakan pada tanggal 6 April 1825. Sementara daerah Air Bangis,
Natal, Barus, dan Tapanuli baru diserah-terimakan pada bulan Juni 1825.
Sementara itu, kegelisahan juga
muncul di kalangan elite pribumi keturunan Madura yang sudah lama menetap di
Bengkulu dan mengabdi kepada Kompeni Inggris sebagai perwira militer yang
tergabung dalam korps militer Bugis. Kekhawatiran mereka sangatlah wajar karena
saat itu mereka masih menikmati gaji dari kompeni Inggris.
Kegelisahan merupakan proses
dari ketidak-puasan terhadap kondisi yang tidak sesuai dengan harapan. Apabila
terus menerus dibiarkan, maka akan timbul frustasi. Rasa frustasi selanjutnya
dapat berkembang menjadi aksi dan agresi yang dapat berbentuk halus dan kasar.
Bentuk halus sebagai protes suatu keadaan di antaranya adalah mengajukan protes
secara tertulis. Itulah yang dilakukan oleh elite pribumi keturunan Madura yang
tergabung dalam korps militer Bugis.
Untuk lebih jelasnya, berikut
surat protes yang telah dikirim oleh Raden Mira Diningrat, Raden Muhammad, dan
Raden Abdul Kharim kepada Residen Prince tertanggal 6 Oktober 1824, yang telah
diterjemahkan, yaitu:
…
Kami telah mendapat berita bahwa Kompeni Yang Terhormat bermaksud untuk
mengadakan pertukaran dengan Belanda, yaitu Bencoolen dengan Malaka. Kami
sangat menyesal mendengar berita ini karena kami telah secara
terus-menerus menikmati perlindungan Kompeni yang sampai saat ini menyokong
kami dan keluarga kami, jika Kompeni bermaksud meninggalkan tempat ini, maka
kami dan seluruh keluarga kami baik yang laki-laki maupun yang perempuan akan
mematuhi, dan karena kami sangat miskin, maka dengan kerendahan hati kami
mengharapkan agar Kompeni yang selalu bermurah hati akan membayar untuk
rumah-rumah dan perkebunan-perkebunan kami, selain itu mengingat lamanya
pengabdian kami, kami memohon pensiun yang besarnya sama dengan yang sekarang kami
nikmati masing-masing.
Pensiun
sebesar 30 Real untuk setiap keluarga kami harapkan dapat berlanjut. Kami
memohon dengan hormat agar Tuan tidak berkeberatan menyampaikan pernyataan kami
ini sebagai bahan pertimbangan Yang Mulia Gubernur Jendral di Dewan.
Surat pernyataan dari tiga orang
wakil elite pribumi keturunan Madura yang telah menjadi Korps Bugis itu
tampaknya menjadi perhatian dari Residen Prince. Oleh karena itu, Residen
Prince segera mengirim surat tersebut kepada Sekretaris Gubernur Lushington
di Calcutta (India) tertanggal 9 Oktober 1824.
Oleh karena itulah, mereka
kemudian mengajukan petisi kepada Gubernur Jendral Inggris di India pada
tanggal 18 Oktober 1824. Adapun isi petisinya adalah meminta agar pemerintah
Inggris meninjau kembali kebijaksanaannya mengenai pelaksanaan Traktat London
pada tanggal 17 Maret 1824.
Mereka yang telah mengajukan
petisi itu tercatat ada 41 orang, yang terdiri dari 36 orang Eropa (Inggris)
dan 5 orang pribumi. Sebagian besar mereka adalah para mantan ambtenar Inggris
serta para kerabatnya. Adapun 5 orang memorialist pribumi itu adalah:
1. Raden
Muhamad,
2. Raden
Abdul Karim,
3. Raden
Tumenggung (Mira Diningrat),
4. Raja
Malim, dan
5. Daeng
Indra.
Menurut silsilah keturunan
raja-raja Balai Buntar (Sungai Lemau), Raja Malim adalah anak keturunan dari
Pangeran Sungai Lemau, sedangkan Daeng Indra adalah anak elite Bugis dan elite
Bengkulu. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa kelima orang pribumi itu
adalah elite pribumi Bengkulu baik keturunan Madura maupun keturunan Bugis.
Surat protes tersebut ditulis
pada tanggal 15 September 1826, yang ditanda-tangani oleh 12 orang pribumi,
yaitu:
1. Pangeran
Linggang Alam (Sungai Lemau),
2. Pangeran
Raja Kalipah (Sungai Itam),
3. Daeng
Mabella,
4. Datuk
Tjaga Nagarie,
5. Datuk
Anies,
6. Datuk
Makoedam,
7. Datuk
Raja Bulang,
8. Letnan
Raja Malim,
9. Datuk
Mantiko Raja,
10. Datuk Raja
Alam,
11. Datuk Tjayo
Maharaja,
12. Datuk
Intjiek Moeda.
Mereka memprotes keras terhadap
kebijaksanaan pemerintah Inggris yang akan membawa serta para istri dan
anak-anak pribumi Bengkulu pergi menyeberangi pulau, karena bertentangan dengan
hukum adat yang berlaku di Bengkulu.
Menurut adat limbago, semua
perempuan dan anak-anak yang belum baliq tidak diperbolehkan pergi jauh keluar
dari negeri Bangkahoeloe (Bengkulu). Adat larangan itu menurut pengakuan
mereka sudah berlaku sejak zaman sebelum Inggris menetap Bengkulu.
Tampaknya surat protes para
kepala pribumi Bengkulu itu kemudian dijadikan dasar argumentasi politis oleh
Residen Belanda Verploegh, untuk menahan keberangkatan kapal Louisa yang akan
mengangkut orang-orang Inggris bersama para pelayannya. Oleh karena itulah,
maka John Prince selaku penanggung-jawab atas jalannya serah-terima wilayah
Bengkulu oleh pemerintah Inggris kepada pemerintah Belanda, juga mengajukan protes
kepada Residen Verploegh.
Menurut John Prince, pemerintah
Belanda (Verploegh) tidak mempunyai alasan yang kuat untuk menahan
keberangkatan kapal Louisa, karena larangan tersebut tidak termasuk ketentuan
dalam Traktat London.
Kepergian orang-orang Inggris
beserta para pelayannya termasuk Raden Abdul Kharim menurut penyelidikan
Prince, merupakan keinginan mereka sendiri, bahkan mereka ingin segera mungkin
meninggalkan Bengkulu. Dengan catatan, setelah mereka berhasil menjual seluruh
harta bendanya meskipun banyak mengalami kerugian.
Source :
1.
Request
dd. 6 October 1824 van de madoereesche Radens Mira di Ningrat, Mahomed en Doel
Karim aan Resident Prince, yang berisi permohonan para bangsawan Madura yang telah mengabdi kepada
Inggris agar diberikan tunjangan pensiun sehubungan dengan serah terima wilayah
Bengkulu kepada pihak Belanda,
2.
Relaas
van de Anachodas Daing Soepoe en Boegis. Wegens de Staat en Gelegenheid van
Bancahoeloe Gegeven te Batavia, 1783, yang berisi tentang keadaan Benteng Marlborough,
para kepala pribumi Bengkulu, serta para anak keturunan Raden Tumenggung
Wiriodiningrat.
3.
Memorie
Betrekkelijk de Bezitting Benkoelen om te Dienen tot Leiding van de Ambtenaar,
Welke nu af en de Vervolge met het Gezag aldaar zal Worden Belast, 1826, yang berisi seluk
beluk kehidupan para Pangeran pribumi Bengkulu, dan Daeng Mabella, terutama
dalam kaitannya dengan pergantian jabatan serta gaji yang diterima dari
pemerintah Belanda.
4.
Geslachts-
lijst der Ondervolgende Inlandsche Hoofden 1860, 1861, Adsisten Residentie
Benkoelen, J.A.W. van Ophuijsen, memuat daftar nama elite pribumi keturunan Madura serta kerabatnya yang
menjadi pejabat birokrat kolonial Belanda.
5.
Surat
protes para kepala pribumi Bengkulu kepada Residen Belanda, Verploegh
tertanggal 15 September 1826, (Arsip Nasional B: 56/4), yang berisi protes atas
pemberangkatan kapal Inggris yang akan membawa istri-istri dan anak-anak
pribumi Bengkulu ke luar pulau, karena bertentangan dengan hukum adat mereka
6.
Brief
dd. 7 September 1824 van Resident Prince aan Goerge Swinton te Calcutta, yang melaporkan kegemparan di kalangan
para kepala pribumi Bengkulu yang memprotes terhadap kebijaksanaan Inggris yang
akan menyerahkan wilayah Bengkulu kepada pihak Belanda.
7. Brief dd. 7 September 1826 van Price aan
den Gouvernements Secretaris Lushington, yang berisi laporan Prince kepada Lushington
tentang ketidakpuasan penduduk yang berkebangsaan Inggris yang ingin segera
pergi meninggalkan Bengkulu setelah dapat menjual semua harta benda miliknya.
0 komentar :
Posting Komentar