Rabu, 22 April 2020

Raja Madura


Kisah dibalik gelar anumerta Raja Madura

Gb. By Google

Tome Pires (1944: 227) menyatakan bahwa pada permulaan dasawarsa abad 16, raja Madura belum masuk Islam. Namun mereka dapat hidup berdampingan dengan para penguasa di Gresik
Pada tahun 1527 raja Tuban tunduk kepada Penguasa Demak. Kuat dugaan pula, sikap Tuban ini telah memengaruhi sikap Madura Barat. De Graaf dan Pigeaud menyebutkan bahwa Pratanu sebagai Putra Mahkota Madura telah memeluk Islam pada 1528 seiring dengan penobatan dirinya dan sedwmikian juga pada raja yang telah berpulang ke Rahmatulloh oleh rakyatnya diberikan gelar anumerta sesuai dengan peristiwa dimana tempat sang raja tersebut wafat, yang mana ini juga sebagai petunjuk akan terjadinya tragedi tertentu.


1. Ratoh Onggu' / Islam Onggu'
Pragalbo selama kurun waktu kepemimpinan beliau di Arosbaya tidaklah memeluk agama islam, kendatipun sedemikian sang putra Mahkota selalu membujuk ayahanda tercinta untuk memeluk agama tersebut, namun Pragalbo hanya berjanji dan berjanji saja kepada putranya tersebut.
Pada akhirnya beliau sakit parah dan menjelang meninggalnya, Raden Pratanu tetap membujuk ramandanya untuk mengucapkan dua kalimat syahadat, R. Pratanu mencoba menuntun beliau namun beliau hanya mengangguk saja tanda menyetujui nya. Setelah itupun beliau Wafat.
Oleh karena itu Rakyatnya menganugerahkan gelar anumerta " ISLAM ONGGU' " (Islam yang hanya dengan mengangguk).

2. SidhingMagiri
Ketika di Mataram terjadi pemberontakan pangeran alit, Sepeninggal Sultan Agung tahun 1645 yang kemudian diganti oleh Amangkurat I, Pangeran Cakraningrat I ditugaskan untuk mengatasi hal tersebut. Sang Pangeran harus menghadapai pemberontakan Pangeran Alit, adik raja. Disaat Cakraningrat I memegang tali kekang kuda Pangeran Alit dengan maksud supaya berbalik kekediamannya, dengan tiba-tiba Pangeran Alit menusuk Pangeran Cakraningrat I dengan keriasnya. Tusukan keris Setan Kober milik Pangeran Alit menyebabkan Cakraningrat I tewas seketika. Demikian pula dengan puteranya RA Atmojonegoro, begitu melihat ayahnya tewas dia segera menyerang Pangeran Alit, tapi dia bernasib sama seperti ayahnya. Dan Pangeran Alit pun diamuk oleh pengikut para Pangeran Madura tersebut dan sang Pangeran pun meninggal juga. Setelah ketiganya disucikan secara Islam dan adat kebiasaan, lalu di makamkan di Pemakaman Raja-raja Mataram di Imogiri, dan Pangeran Cakraningrat I pun mendapatkan gelar anumerta "SIDHING-MAGIRI" (Meninggal dan disarekan di Imogiri) Peristiwa tersebut terjadi pada tahun 1648 M.

3. Sidhing-Kamal
Setelah penobatan Pangeran Puger dengan gelar "Kandjeng Susuhunan Pakubuwono Senopati ingalogo Abdurrachman Sajidin Panotogomo", Pangeran Tjakraningrat II lalu diangkat sebagai Bupati Wadono (Hoofd Regent) di Bangwetan dan Tumenggung Djangrono dari Surabaya diangkat menjadi Bupati Keliwon dibawah perintah Tjakraningrat II pada tahun 1704. 
Setelah itu Panembahan Cakraningrat II mendapatkan Perintah dari Kanjeng Susuhunan Paku Buwono I untuk mengatasi pemberontakan di Pasuruan, setelah diselesaikannya dengan seksama Th 1707, Panembahan Cakraningrat II kembali ke Madura, namun setibanya di Kamal beliau mengalami sakit keras dan meninggal disana pada usia 80 tahun. Sehingga rakyatnya menganugerahkan gelar anumerta terhadap beliau "SIDHING-KAMAL" (wafat di Kamal).
Jenazah Beliau ditandu dari Kamal menuju Arosbaya pada waktu sore (Matahari akan tenggelam), namun sampai beliau selesai dimakamkan, matahari masih tetap di tempatnya dan tiba-tiba langsung pagi tanpa melalui malam.

4. Sidhing-Kapal
Akibat dari perseteruan dengan Adikoro 1 serta adiknya sendiri, maka beliau tidak sudi melawan karena akan terjadi perang saudara dan pertumpahan darah dari sesama saudaranya sendiri, maka Sang Panembahan menyingkir beserta putra-putranya dan Permaisurinya dari Tunjung Skar Kdaton ke Kapal Compagnie Belanda.
Disinilah terjadi Cross Culture, dimana system penghormatan ala Belanda tidaklah sopan menurut system adat Madura, dimana untuk menghormati tamu agung apabila seorang perempuan, budaya Belanda akan mencium tangannya serta mengecup leher tamu tersebut dengan bibirnya (berarti dicium). Maka tak ayal lagi, sang permaisuri pun berteriak keras memanggil suaminya serta gemetar seluruh tubuhnya, mendengar hal itu Panembahan Cakraningrat III pun menghunus kerisnya dan menusukkan kepada Kapten tersebut dan meninggal seketika, dan beliau terus mengamuk hingga seisi kapal hampir mati semuanya karena sang Pangeran tidak mempan ditembak peluru. Akibat kelelahan, akhirnya beliau lengah dan dapat dipukul kepalanya dengan sebuah palu besi dari belakang dan terjatuh sehingga wafat disana. Kemudian Kepala beliau dipenggal dan dibawa ke Surabaya sedangkan tubuhnya dibuang kelaut di dekat Mengare. Sehingga rakyat Madura menganugerahi gelar anumerta kepada Panembahan Tjakraniengrat III dengan gelar "SidhingKap / Sidhing-kapal" (meninggal di Kapal).

5. Sidhingkaap
Gb. By.Google

Setelah Cakraningrat IV memenangkan pertempuran melawan pemberontak Sunan Kuning atas permintaan Ratu Ageng Surakarta pada Juli 1742 dengan mengirimkan dua orang perempuan sebagai utusan beliau dan Kraton Surakarta berhasil dikuasai sang Pangeran Madura itu, maka atas bujukan VOC, pada pertemuan kedua dini hari tanggal 10 Desember 1742, Panembahan Cakraningrat IV akan menyerahkan Kraton Surakarta kepada yang berhak, menarik kembali pasukannya dan menyisakan sekitar 300 orang prajurit sampai garnisun VOC tiba di Kertasura.
Pada 20 Desember 1742 Paseban dan Sitinggil telah dikosongkan, Keesokan harinya Sunan telah menduduki singgasananya di Sitinggil dan menerima Hohendorff dan Toutlemonde di Paseban.
Sampai akhir 1743, VOC masih menganggap Raja Madura itu sebagai sekutu VOC yang setia, tapi perhitungan itu meleset. Janji imbalan oleh VOC untuk menyerahkan wilayah gunung Lawu ke timur tidak kunjung dipenuhi. Sebagai Bangsa Madura yang memegang teguh akan janji, sekaligus juga telah nampak pada pandangan Sang Raja Madura bahwa banyak penindasan-penindasan yang dilakukan VOC kepada rakyatnya, maka Sang Pangeran kebanggaan rakyat Madura ini berbalik memimpin pasukannya melawan Belanda yang ingkar janji, akibatnya Pasukan kraton Sembilangan harus menghadapi VOC dari segala arah, Mayor Van de Poll dari arah timur (Sumenep), dari arah barat pasukan gabungan Amral Semahos (Mayor Ten Haghuys). Akhirnya pasukan Madura terdesak dan atas saran para senopati Sembilangan yang telah gugur, akhirnya Panembahan Cakraningrat IV bersama putra/i nya meloloskan diri dari sembilangan menuju Arosbaya dengan tujuan mengungsi ke Banjarmasin. Peristiwa Lolosnya Cakraningrat IV ini ditandai dengan Candrasangkala "Trusing masa rasa tunggal (1745 M). Akhirnya sang Panembahan ditangkap di Banjarmasin diatas kapal inggris Onslow yang dinahkodai oleh Kapten Congreave, dibawa ke Batavia dan diasingkan ke "Kaap de Goede Hoop" di Afrika Selatan serta wafat disana. Kemudian pada Putra Penerus Beliau meminta ijin kepada Belanda untuk memindahkan Janazah Ayahandanya ke Madura dan Compagni menyetujuinya, kemudian disarekan kembali di Pasarean Aermata pada hari Jum'at, 3 Robi'ul awal 1678 (1753 M). Karena Panembahan Cakraningrat IV meninggal di Kaap de Goede Hoop, maka Rakyat Madura menganugerahi beliau gelar anumerta "Sidhingkaap"
(Meninggal di Kaap de goede hoop).

6. Sidhomukti
Setelah kraton Sembilangan jatuh dan dikalahkan oleh pasukan Belanda, maka Putra sulung Panembahan Cakraningrat IV yang semula menjadi Bupati Sedayu, naik Tahta dengan gelar "Panembahan Cakraadiningrat V". Selama beliau memerintah, Madura mengalami ketentraman, Kedamaian dan Kemakmuran. Hanya diawal kepemimpinannya terdapat tragedi "Kek Lesab".

Setelah 26 Tahun memerintah Madura, beliau wafat pada tahun 1770 dan dikebumikan di Asta Aermata tempat pemakaman Raja-raja Madura. Sehubungan sang Panembahan wafat dalam damai dan nikmat, maka Rakyat Madura menganugerahkan gelar anumerta "Panembahan Sidho-Mukti"
(Panembahan yg wafat dalam damai).

Demikian sekelumit kisah dibalik gelar anumerta para Raja Madura. Selanjutnya setelah Panembahan Sidhomukti Wafat, System kerajaan Madura berubah menjadi Kesultanan. (Walloohuaklaam Bisshoweeb).







Mas Agus- Pelbar



0 komentar :

Posting Komentar