KIYAI PRAGALBO
Pada
akhir windu ke-15 pemerintahan di Arosbaya dipimpin oleh Kiyai Pragalbo dengan
gelar Pangeran Palakaran, berkeraton di Kota Anyar. Daerah yang beliau pimpin
lebih luas dari daerah pada masa pimpinan ayahnya. Hal ini dikarenakan demikian
baiknya pemerintahan sang ayah, sehingga ada beberapa desa yang awalnya tidak
memiliki pemimpin, menyerahkan kepemimpinan pada pemerintah di Arosbaya.
Kiyai
Pragalbo memiliki tiga orang istri yaitu:
- Nyai Angsuko, berasal dari Proppo (Pamekasan),
- Nyai Padopo, juga berasal dari Proppo (Pamekasan),
- Nyai Ageng Mamah berasal dari Madekan (Sampang).
Dari
istri yang pertama, lahir seorang putera bernama Pangeran Malojo; dari istri
yang kedua lahir juga seorang putera bernama Pangeran Djungbaringin (Tandjung
Waringin); dari istri yang ketiga lahir tiga putera yaitu: 1) Kiyai Pratanu, 2)
Kiyai Prakoso (Pangeran Welaran), 3) Kiyai Pranoto (Pangeran Tandjungpuro). 4)
Kijahi Mlojo dan 5) Pangeran Jamburingin ( Pradoto ). Yang dijadikan calon
pengganti adalah Kiyai Pratanu.
Beliau
amat dicintai ayah ibunya. Beliau diperkenankan mendirikan sebuah rumah di
tanah perkebunan ayah bundaya, dengan didiami seorang diri. Pada suatu malam
beliau bermimpi mendapat tamu orang asing, yang mengaku dirinya bernama Sayid
Magribi, menyuruh beliau memeluk agama baru yaitu agama Islam, sedangkan guru
yang dapat memberi pelajaran agama tersebut adalah Sunan Kudus. Beliau terkejut
dari tidurnya dan merasa resah, sampai 7 hari beliau tidak keluar dari
rumahnya. Setelah itu beliau bermimpi lagi seperti mimpinya yang semula.
Keesokan harinya beliau menghadap ayah ibunya menceritakan mimpi tersebut. Maka
ayahnya memanggil pepatihnya yang bernama Empu Bageno, disuruh pergi ke Kudus
untuk mengetahui agama baru tersebut sampai ke seluk beluknya. Maka pepatih
Empu Bageno berangkat ke Kudus untuk melaksanakan tugasnya. Untuk mengetahui
seluk beluk agama Islam, tidak mungkin bisa dilakukan tanpa memeluk agama
tersebut, maka ia menghadap Sunan Kudus dengan menerangkan bahwa dirinya adalah
utusan dari Arosbaya untuk memeluk agama Islam. Maka ia diterima menjadi murid
(santri) Sunan Kudus. Sebelum mendapatkan pelajaran tentang agama Islam, ia
diharuskan mencukur rambut di kepala, jenggot, dan kumisnya dan disuruh pula
memotong kuku-kuku di jari kaki dan tangannya. Setelah semua dilakukan, maka ia
dimandikan oleh Sunan Kudus. Setelah itu, ia diberikan pelajaran agama Islam
dimulai dari “Kalimat Syahadat” (Syahadatain) sampai rukun-rukun Islam lainnya
lalu rukun iman. Setelah cukup memahami dan benar-benar mengerti rukun-rukun
agama Islam yang harus dipakai setiap hari, maka ia mohon diri kepada Sunan
Kudus untuk bertolak ke Arosbaya, dan menerima pesan dari gurunya supaya ia
memimpin semua orang yang bersedia memeluk agama Islam. Sesampainya di tepi
laut Jawa, ia terperanjat karena ia tidak bisa pulang ke Arosbaya dengan cepat
sebagaimana ia waktu berangkat dari Arosbaya menuju Kudus, pada waktu itu ia
berjalan dengan cepat di atas air dan di atas tanah tanpa menyentuh air dan
tanah seolah-olah terbang. Pada saat ia hendak pulang, rupanya dirinya
bertambah berat sebab pada saat ia mencoba berjalan di atas air, kakinya masuk
ke dalam air dan tidak bisa berjalan lagi sebagaimana biasanya. Maka ia kembali
lagi ke rumah Sunan Kudus dan menceritakan yang dialaminya, dan menyatakan
perasaannya bahwa apabila keadaannya demikian, maka menurut pendapatnya agama
Buddha lebih baik dari agama Islam. Sunan Kudus menjawab bahwa
kelebihan-kelebihan yang dimiliki orang dari kalangan agama Buddha itu timbul
dari sumber “Pangluluh Tuhan” yang berarti diberikan kelebihan, tetapi kelak
dikemudian hari di alam Baqa akan menemui siksa. Timbulnya kelebihan tersebut
dinamakan “Istiddrat” serta sepintas terlihat mengagumkan, sedangkan
kelebihan yang didapatkan (dapat dicapai) dari Agama Islam timbulnya dari
“hidayat” yaitu “pitulung Tuhan” sumbernya dari Mukjizat dan keramat. Hal
tersebut nampak biasa dan lumrah karena agama Islam adalah agama penutup, maka
orang yang lahir setelah datangnya Islam dengan perasaan sebagai perasaan orang
biasa, tidak usah menjadi pikiran bila tidak mencapai hubungan secara ilmu
manusia biasa (menschelijk wetenschappelijke logica) mencapai kepuasan dan di
alam Baqa akan disediakan “pahala” (menurut rukun Islam dan Iman).
Lalu
Sunan Kudus mengambil sebuah mantjung (kerocok) dari pohon kelapa, lalu
diletakkan di ujung gelombang (ombak) di tepi laut, dan menyuruh Kiyai Empu
Bageno menaruh kedua kakinya di mantjung tersebut dengan menutup matanya dan
berpesan apabila tidak mendengar suara Sunan Kudus untuk membuka matanya, maka
ia harus tetap menutup mata. Ia menurut pada apa yang dikatakan Sunan Kudus,
dan menaiki mantjung, maka dalam tempo beberapa detik ia mendengar suara Sunan
Kudus yang menyuruh “buka mata” sambil merasa tangan Sunan Kudus mendorong
dirinya dari belakang. Setelah membuka mata, tahun-tahunya ia telah berada di
tepi laut di muka keraton Arosbaya. Mengalami hal demikian menimbulkan
keyakinan di hati Kiyai Empu Bageno bahwa agama Islam memang benar memuaskan
para penganutnya.
Pepatih
Empu Bageno segera mengahadap Kiyai Pratanu menceritakan segala hal yang ia
lakukan selama menjalankan tugasnya di Kudus. Setelah Kiyai Pratanu mengerti
bahwa Kiyai Empu Bageno memeluk agama Islam terlebih dahulu dari dirinya, maka
beliau amat murka dan mengusir Kiyai Empu Bageno kerumahnya, akan tetapi
setelah beliau berpikir panjang lebar, beliau dapat mengerti bahwa tidak
mungkin mengetahui seluk beluk agama Islam apabila tidak memeluknya terlebih
dahulu. Beliau menjadi sabar dan memanggil Kiyai Empu Bageno untuk dibawa
menghadap ayahnya. Setelah berhadapan dengan ayahnya, ayahnya lalu mengetahui
bahwa Kiyai Empu Bageno memeluk agama Islam terlebih dahulu daripada beliau,
maka beliau murka dan memerintahkan puteranya agar menghukum mati Kiyai Empu
Bageno. Atas keterangan dan permohonan puteranya, sang ayah menjadi bersabar
dan menerima Kiyai Empu Bageno dengan senang hati dan memerintahkan supaya
agama Islam disiarkan ke segala lapisan masyarakat dan dianjurkan pada siapapun
yang sukarela memeluknya, namun tidak boleh ada paksaan. Kiyai Pratanu memeluk
agama Islam dengan belajar pada Kiyai Empu Bageno, sedangkan ayahnya tida mau
belajar hanya cukup mendengarkan syarat-syaratnya dan berjanji kelak dikemudian
hari akan memeluknya. Di kalangan rakyat pun banyak yang memeluk agama baru
tersebut.
Pada
saat raja (Kiyai Pragalbo) hampir meninggal karena sakit tua, oleh puteranya
diperingatkan untuk memeluk agama Islam. Pada saat beliau diajari “kalimat syahadat”
(Syahadatain) tidak dapat bersuara hanya menganggukkan kepalanya saja hingga
berpulang ke Rahmatullah. Oleh karena itu Kiyai Pragalbo Arosbaya dikenal
dengan “Pangeran Islam Ongguk”.
Orang-orang di sekitar tempat tersebut menerangkan bahwa Pangeran Islam Ongguk
tidak menyukai apabila orang berziarah ke makamnya (makam Aghung) membaca tahlil, beliau hanya
suka menerima bacaan surat “al-ikhlas” saja (surat di dalam Al-Qur’an yang
maksudnya sama dengan kalimat Syahadat) atau hanya suka kalau orang yang
berziarah ke makam beliau hanya membaca shalawat nabi (yang maksudnya sama
dengan kalimat Syahadat). Hal tersebut menjadi suatu adat kebiasaan yang
digunakan oleh orang-orang yang berziarah ke kuburan mulai pada saat beliau
meninggal.
Setelah
beliau meninggal pada tahun 1531 M, yang menggantikan beliau adalah Kiyai
Pratanu dengan gelar Panembahan Lemah Duwur. Beliau membuat keraton di sebelah
utara keraton ayahnya, yang dikenal “keraton Arosbaya”. Beliau memeluk agama
Islam di tahun menurut Tjondrosengkolo “Sirno Pendowo Kartanin Nagoro” yaitu pada tahun 1531. Pada suasana baru itu:
Raja Baru, Agama Baru, keraton baru, maka pemerintahan beliau bertambah makmur,
masyhur, dan luas, beliau masyhur sebagai raja yang adil dan bijaksana. Ibu
beliau dan saudaranya (Pangeran Welaran) tinggal berumah di Kota Anyar
(Palakaran) dan juga telah memeluk agama Islam. Pangeran Welaran menjadi
pepatih beliau, sedangkan Kiyai Empu Bageno menjadi pepatih kedua. Panembahan
Lemah duwur memerintahkan membuat masjid pertama di Arosbaya. Beliau menjadi
menantu Sultan Padjang Djoko Tingkir, dan mendapat lima orang putera-puteri
yaitu:
- Raden Sidhing Gili yang memerintah di Sampang,
- Raden Koro alias Pangeran Tengah di Arosbaya,
- Pangeran Blega memerintah di Blega,
- Ratu (istri) Mas Pasuruan, bersuami Pangeran Bungkaran Pepatih di Sampang,
- Ratu (istri) Ayu bersuami Pangeran Kasenaran.
Beliau
juga mempunyai putera-puteri dengan selir, yaitu:
- Kiyai Dipati Pakatjangan,
- Pangeran Tumenggung,
- Pangeran Demang,
- Pangeran Pusponagoro,
- Pangeran Padmonagoro,
- Pangeran Ronggo,
- Mas Ayu Ireng, istri Pangeran Musarrip di Arosbaya,
- Mas Ayu Kuning,
- Mas Ayu Puspantoro,
Pada
masa pemerintahan beliau, seluruh Madura yang sekarang menjadi Kabupaten
Bangkalan dan Sampang takluk pada beliau. Beliau mengambil menantu seseorang berbangsa Arab yaitu bangsa Syarif
yang terkenal dengan nama Pangeran Musarrip di Arosbaya dengan puterinya yang
bernama Mas Ayu Ireng. Dalam tulisan cerita-cerita mengenai Madura, Pangeran
Musarrip memakai nama Arab Chalifah Husein
(bukan saudara Raden Patah). Nama tersebut salah dipakai “Al-Husein”
yang berarti turunan dari Syarief Husein. Menurut sejarah tanah Jawa yang cocok
dengan taba’ Arab, turunan sebenarnya adalah sebagai berikut:
Pada
pertengahan abad ke-15 seorang Arab bangsa Syarief yaitu turunan dari Sayidina
Husein, putera Siti Fatimah yang lebih muda dari Sayidina Hasan, turun ke tanah
Jawa di Tuban. Pada masa itu Agama Islam masih sangat dihormati oleh
pemeluk-pemeluknya yang baru meninggalkan agama Buddha, maka tamu tersebut
menjadi guru besar dalam agama Islam. Tamu ini bergelar Syarief Djamaluddin al
Akbar, oleh orang Jawa disebut Djamadul Akbar. Nama tersebut sebenarnya hanya
julukan beliau. Nama yang sebenarnya adalah Muhammad Husein atau juga dikenal
dengan Makdum Ibrahim Hasmoro. Beliau dilahirkan di tanah Kamboja, yang disebut
Tjempa. Beliau menyebarkan agama Islam ke beberapa daerah di kepulauan
Indonesia. Kemudian beliau meninggal di tanah Toraja. Waktu beliau turun ke
tanah Jawa, semua keluarganya ada yang ikut serta dan ada pula yang menyusul
(istri, anak, dan cucu-cucunya), hanya tinggal seorang anaknya yang tinggal di
Kamboja, bernama Syarief Achmad, akan tetapi kemudian menyusul ke Tanah Jawa
yaitu di daerah Surabaya. Keluarga tersebut terdiri dari seorang istri, 17
anak-anaknya dan 6 orang sanak keluarganya. Nama anak-anak beliau yang terkenal
adalah sebagai berikut:
- Muhjil Islam,
- Rachmatullah alias Raden Rachmad Sunan Ampel,
- Sunan Lembajung Fadal (Raja Pandita),
- Syarief Zainal Akbar alias Ibrahim yaitu ayah Raden Paku Sunan Giri.
- Maulana Hisamuddin (Sunan Lamongan),
- Nurul Alam Ali,
- Syarief Achmad, yang turun ke surabaya sebagaimana yang diceritakan di atas.
Syarief
yang nomor 7 itu mempunyai anak bernama Raden Hafie. Ia menurunkan Syarief
Muhammad Djuharija, dan orang ini menurunkan Syarief Achmad Al Husaini yaitu
yang disebut Pangeran Musarrip di Arosbaya, suami dari Mas Ayu Ireng. Ia
mempunyai anak bernama Syarief Kaffie yang kemedian meninggal di Pulu Pinang
(Filipina), akan tetapi meninggalkan anak di Arosbaya, bernama Raden Masigit,
kemudian disebut Pangeran Masigit dan dikuburkan di dekat mesigit Arosbaya.
Raden Masigit diambil menantu oleh Pangeran Tjakraningrat IV lalu memakai gelar
Raden Onggowidjojo dan kemudian bergelar Pangeran Onggowidjojo, mempunyai
putera benama Raden Ario Suriowinoto di Arosbaya yang diambil menantu oleh
Panembahan Tjokroadiningrat V (Sidho Mukti) dengan puterinya R. Ayu Angger,
akan tetapi tidak menurunkan putera. Raden Ario Suriowinoto dengan selirnya
menurunkan putera yang bernama: 1) Raden Surjowinoto di Arosbaya dan; 2) Raden
Suriokusumo di Arosbaya.
Disebutkan
dalam babad Madura, bahwa Panembahan Lemahduwur meninggal di Arosbaya pada
tahun 1592 M. lantaran sakit bisul dibelakangnya sesudah beliau bertamu ke
Panembahan Ronggo Sukowati di Pamekasan yaitu mengenai keris Kiyai
Djokopiturun. Setelah Panembahan
Lemahduwur meninggal dunia. Yang menggantikan beliau di Arosbaya adalah
puteranya yang bernama Pangeran Tengah yaitu Raden Koro. Dalam pemerintahan
beliau, Blega yang berada di bawah perintah saudaranya (Pangeran Blega) tida
suka berada di abwah pemerintahan Arosbaya, oleh karena itu terjadi pepernagan
antara Arosbaya dan Blega. Pertempuran tersebut terjadi sampai tiga kali, namun
Arosbaya tidak dapat mengalahkan Blega karena kepandaian Pepatih Blega yang
bernama Gusti Macan. Karena kuatir rakyat akan banyak mati, maka Pangeran
Tengah meminta kepada Pangeran Blega supaya perang dihentikan, permintaan
tersebut dituruti oleh Pangeran Blega. Pada suatu hari Pangeran Blega ke Arosbaya
untuk memperbaiki (membenahi) kuburan ayahnya (Panembahan Lemahduwur)
bersama-sama dengan Pangeran Arosbaya. Pada saat itu Pangeran Arosbaya
menanyakan pada Pangeran Blega barangkali Pepatih Gusti Macan juga hadir ke
Arosbaya, pertanyaan tersebut dijawab oleh Pangeran Blega bahwa patihnya tidak
ikut, karena harus menjaga Blega.
Maka
pada saat Pangeran Blega akan pulang dari Arosbaya, Pangeran Arosbaya
menitipkan suatu kiriman untuk pepatih Blega, berupa selembar dodot (pakaian
kebesaran) yang terbuat dari kain sutera kuning. Sesampainya Pangeran Blega di
rumahnya, maka kiriman tersebut segera diberikan kepada patihnya. Patih Blega
sangat girang menerima kiriman tersebut sehingga dodot tersebut dipakai tidur
malam dibuat selimut. Keesokan harinya sang Patih bangun dari tidurnya, ia
merasa seluruh badannya kaku tidak dapat bergerak, lalu meninggal. Orang-ornag
menyangka dodot tersebut berisi racun. Setelah Gusti Macan meninggal, Pangeran
Blega menjadi khawatir dan takluk di bawah pemerintah Arosbaya.
Pada
tahun 1596 M, kapal-kapal Belanda yang mencari hubungan perdagangan di daerah
kepulauan Indonesia sampai di tanah Jawa dan mendarat di beberapa pelabuhan,
juga pelabuhan Sidayu. Kapal-kapal tersebut ada di pesisiran Sidayu banyak yang
dirampok oleh rakyat Sidayu hingga banyak kerugiannya. Sesudah itu kapal
tersebut pergi dari Pantai Sidayu dan mendarat di pantai Madura yaitu di
Arosbaya pada tanggal 6 Desember 1596 M. kapal-kapal tadi bernama “Amsterdam”,
“Houtman”, “Kaeren” dan “Mauritius”. Utusan kapal datang pada Pangeran Tengah
yang mengatakan akan mencari hubungan dagang. Pangeran Tengah mengirimkan
utusannya terdiri dari Patih Arosbaya bergelar Kiyai Ronggo dan Penghulu
Arosbaya bergelar Pangeran Musarrip. Utusan tersebut oleh Belanda diperkenankan
bertamu ke kapal “Mauritius” akan tetapi karena para utusan pada waktu itu
tidak mengerti, maka utusan itu mendatangi kapal “Amsterdam” dengan diiringi
beberapa pengikutnya. Pihak Belanda salah menyangka orang-orang tersebut akan
merampok seperti di pesisir Sidayu. Lalu terjadilah perkelahian hebat yang
menyebabkan meninggalnya Patih Arosbaya dan Pangeran Musarrip. Setelah kejadian
tersebut, kapal-kapal itu segera meninggalkan Arosbaya.
Pada
tanggal 5 Februari 1597, datang lagi beberapa buah kapal Belanda ke pantai
Arosbaya di bawah pimpinan Tuan Van Neck, yaitu kapal “Warwijk” dan
“Heemskerck”, bermaksud akan membeli beras. Pemerintah Arosbaya teringat akan
kejadian pada tanggal 6 Desember 1696, dan segera merampok kapal tersebut dan
membunuh sebagian awak kapal sedangkan
sisanya ditawan. Pada tanggal 14 Februari 1597 M kapal-kapal meninggalkan
pantai Arosbaya setelah para tawanan ditebus dan dimerdekakan dengan uang 2000
real.
Pada
tahun 1621 M, Pangeran Tengah meninggal, dengan meninggalkan seorang putera laki-laki
yang masih di bawah umur bernama Raden Praseno. Raden Ayu dari Pangeran Tengah
setelah suaminya meninggal lalu pulang ke Sampang (Madekan) sampai meninggal di
Madekan. Raden Praseno turut ibunya ke Madegan. Yang mengatur pemerintahan di
Arosbaya adalah adik dari Pangeran Tengah yang bernama Pangeran Mas. Di bawah
kepemimpinan beliau, seluruh Madura ditaklukkan oleh Sultan Agung di Mataram
pada tahun 1624 M. Yang diangkat memerintah di seluruh Madura adalah Raden
Praseno dengan gelar Pangeran Tjakraningrat I.
0 komentar :
Posting Komentar