Senin, 26 September 2016

KYAI PRAGALBO



KIYAI PRAGALBO


Pada akhir windu ke-15 pemerintahan di Arosbaya dipimpin oleh Kiyai Pragalbo dengan gelar Pangeran Palakaran, berkeraton di Kota Anyar. Daerah yang beliau pimpin lebih luas dari daerah pada masa pimpinan ayahnya. Hal ini dikarenakan demikian baiknya pemerintahan sang ayah, sehingga ada beberapa desa yang awalnya tidak memiliki pemimpin, menyerahkan kepemimpinan pada pemerintah di Arosbaya.

Kiyai Pragalbo memiliki tiga orang istri yaitu:
  1. Nyai Angsuko, berasal dari Proppo (Pamekasan),
  2. Nyai Padopo, juga berasal dari Proppo (Pamekasan),
  3. Nyai Ageng Mamah berasal dari Madekan (Sampang).
Dari istri yang pertama, lahir seorang putera bernama Pangeran Malojo; dari istri yang kedua lahir juga seorang putera bernama Pangeran Djungbaringin (Tandjung Waringin); dari istri yang ketiga lahir tiga putera yaitu: 1) Kiyai Pratanu, 2) Kiyai Prakoso (Pangeran Welaran), 3) Kiyai Pranoto (Pangeran Tandjungpuro). 4) Kijahi Mlojo dan 5) Pangeran Jamburingin ( Pradoto ). Yang dijadikan calon pengganti adalah Kiyai Pratanu.
Beliau amat dicintai ayah ibunya. Beliau diperkenankan mendirikan sebuah rumah di tanah perkebunan ayah bundaya, dengan didiami seorang diri. Pada suatu malam beliau bermimpi mendapat tamu orang asing, yang mengaku dirinya bernama Sayid Magribi, menyuruh beliau memeluk agama baru yaitu agama Islam, sedangkan guru yang dapat memberi pelajaran agama tersebut adalah Sunan Kudus. Beliau terkejut dari tidurnya dan merasa resah, sampai 7 hari beliau tidak keluar dari rumahnya. Setelah itu beliau bermimpi lagi seperti mimpinya yang semula. Keesokan harinya beliau menghadap ayah ibunya menceritakan mimpi tersebut. Maka ayahnya memanggil pepatihnya yang bernama Empu Bageno, disuruh pergi ke Kudus untuk mengetahui agama baru tersebut sampai ke seluk beluknya. Maka pepatih Empu Bageno berangkat ke Kudus untuk melaksanakan tugasnya. Untuk mengetahui seluk beluk agama Islam, tidak mungkin bisa dilakukan tanpa memeluk agama tersebut, maka ia menghadap Sunan Kudus dengan menerangkan bahwa dirinya adalah utusan dari Arosbaya untuk memeluk agama Islam. Maka ia diterima menjadi murid (santri) Sunan Kudus. Sebelum mendapatkan pelajaran tentang agama Islam, ia diharuskan mencukur rambut di kepala, jenggot, dan kumisnya dan disuruh pula memotong kuku-kuku di jari kaki dan tangannya. Setelah semua dilakukan, maka ia dimandikan oleh Sunan Kudus. Setelah itu, ia diberikan pelajaran agama Islam dimulai dari “Kalimat Syahadat” (Syahadatain) sampai rukun-rukun Islam lainnya lalu rukun iman. Setelah cukup memahami dan benar-benar mengerti rukun-rukun agama Islam yang harus dipakai setiap hari, maka ia mohon diri kepada Sunan Kudus untuk bertolak ke Arosbaya, dan menerima pesan dari gurunya supaya ia memimpin semua orang yang bersedia memeluk agama Islam. Sesampainya di tepi laut Jawa, ia terperanjat karena ia tidak bisa pulang ke Arosbaya dengan cepat sebagaimana ia waktu berangkat dari Arosbaya menuju Kudus, pada waktu itu ia berjalan dengan cepat di atas air dan di atas tanah tanpa menyentuh air dan tanah seolah-olah terbang. Pada saat ia hendak pulang, rupanya dirinya bertambah berat sebab pada saat ia mencoba berjalan di atas air, kakinya masuk ke dalam air dan tidak bisa berjalan lagi sebagaimana biasanya. Maka ia kembali lagi ke rumah Sunan Kudus dan menceritakan yang dialaminya, dan menyatakan perasaannya bahwa apabila keadaannya demikian, maka menurut pendapatnya agama Buddha lebih baik dari agama Islam. Sunan Kudus menjawab bahwa kelebihan-kelebihan yang dimiliki orang dari kalangan agama Buddha itu timbul dari sumber “Pangluluh Tuhan” yang berarti diberikan kelebihan, tetapi kelak dikemudian hari di alam Baqa akan menemui siksa. Timbulnya kelebihan tersebut dinamakan “Istiddrat” serta sepintas terlihat mengagumkan, sedangkan kelebihan yang didapatkan (dapat dicapai) dari Agama Islam timbulnya dari “hidayat” yaitu “pitulung Tuhan” sumbernya dari Mukjizat dan keramat. Hal tersebut nampak biasa dan lumrah karena agama Islam adalah agama penutup, maka orang yang lahir setelah datangnya Islam dengan perasaan sebagai perasaan orang biasa, tidak usah menjadi pikiran bila tidak mencapai hubungan secara ilmu manusia biasa (menschelijk wetenschappelijke logica) mencapai kepuasan dan di alam Baqa akan disediakan “pahala” (menurut rukun Islam dan Iman).
Lalu Sunan Kudus mengambil sebuah mantjung (kerocok) dari pohon kelapa, lalu diletakkan di ujung gelombang (ombak) di tepi laut, dan menyuruh Kiyai Empu Bageno menaruh kedua kakinya di mantjung tersebut dengan menutup matanya dan berpesan apabila tidak mendengar suara Sunan Kudus untuk membuka matanya, maka ia harus tetap menutup mata. Ia menurut pada apa yang dikatakan Sunan Kudus, dan menaiki mantjung, maka dalam tempo beberapa detik ia mendengar suara Sunan Kudus yang menyuruh “buka mata” sambil merasa tangan Sunan Kudus mendorong dirinya dari belakang. Setelah membuka mata, tahun-tahunya ia telah berada di tepi laut di muka keraton Arosbaya. Mengalami hal demikian menimbulkan keyakinan di hati Kiyai Empu Bageno bahwa agama Islam memang benar memuaskan para penganutnya.
Pepatih Empu Bageno segera mengahadap Kiyai Pratanu menceritakan segala hal yang ia lakukan selama menjalankan tugasnya di Kudus. Setelah Kiyai Pratanu mengerti bahwa Kiyai Empu Bageno memeluk agama Islam terlebih dahulu dari dirinya, maka beliau amat murka dan mengusir Kiyai Empu Bageno kerumahnya, akan tetapi setelah beliau berpikir panjang lebar, beliau dapat mengerti bahwa tidak mungkin mengetahui seluk beluk agama Islam apabila tidak memeluknya terlebih dahulu. Beliau menjadi sabar dan memanggil Kiyai Empu Bageno untuk dibawa menghadap ayahnya. Setelah berhadapan dengan ayahnya, ayahnya lalu mengetahui bahwa Kiyai Empu Bageno memeluk agama Islam terlebih dahulu daripada beliau, maka beliau murka dan memerintahkan puteranya agar menghukum mati Kiyai Empu Bageno. Atas keterangan dan permohonan puteranya, sang ayah menjadi bersabar dan menerima Kiyai Empu Bageno dengan senang hati dan memerintahkan supaya agama Islam disiarkan ke segala lapisan masyarakat dan dianjurkan pada siapapun yang sukarela memeluknya, namun tidak boleh ada paksaan. Kiyai Pratanu memeluk agama Islam dengan belajar pada Kiyai Empu Bageno, sedangkan ayahnya tida mau belajar hanya cukup mendengarkan syarat-syaratnya dan berjanji kelak dikemudian hari akan memeluknya. Di kalangan rakyat pun banyak yang memeluk agama baru tersebut.
Pada saat raja (Kiyai Pragalbo) hampir meninggal karena sakit tua, oleh puteranya diperingatkan untuk memeluk agama Islam. Pada saat beliau diajari “kalimat syahadat” (Syahadatain) tidak dapat bersuara hanya menganggukkan kepalanya saja hingga berpulang ke Rahmatullah. Oleh karena itu Kiyai Pragalbo Arosbaya dikenal dengan “Pangeran  Islam Ongguk”. Orang-orang di sekitar tempat tersebut menerangkan bahwa Pangeran Islam Ongguk tidak menyukai apabila orang berziarah ke makamnya  (makam Aghung) membaca tahlil, beliau hanya suka menerima bacaan surat “al-ikhlas” saja (surat di dalam Al-Qur’an yang maksudnya sama dengan kalimat Syahadat) atau hanya suka kalau orang yang berziarah ke makam beliau hanya membaca shalawat nabi (yang maksudnya sama dengan kalimat Syahadat). Hal tersebut menjadi suatu adat kebiasaan yang digunakan oleh orang-orang yang berziarah ke kuburan mulai pada saat beliau meninggal.
Setelah beliau meninggal pada tahun 1531 M, yang menggantikan beliau adalah Kiyai Pratanu dengan gelar Panembahan Lemah Duwur. Beliau membuat keraton di sebelah utara keraton ayahnya, yang dikenal “keraton Arosbaya”. Beliau memeluk agama Islam di tahun menurut Tjondrosengkolo “Sirno Pendowo Kartanin Nagoro”  yaitu pada tahun 1531. Pada suasana baru itu: Raja Baru, Agama Baru, keraton baru, maka pemerintahan beliau bertambah makmur, masyhur, dan luas, beliau masyhur sebagai raja yang adil dan bijaksana. Ibu beliau dan saudaranya (Pangeran Welaran) tinggal berumah di Kota Anyar (Palakaran) dan juga telah memeluk agama Islam. Pangeran Welaran menjadi pepatih beliau, sedangkan Kiyai Empu Bageno menjadi pepatih kedua. Panembahan Lemah duwur memerintahkan membuat masjid pertama di Arosbaya. Beliau menjadi menantu Sultan Padjang Djoko Tingkir, dan mendapat lima orang putera-puteri yaitu:
  1. Raden Sidhing Gili yang memerintah di Sampang,
  2. Raden Koro alias Pangeran Tengah di Arosbaya,
  3. Pangeran Blega memerintah di Blega,
  4. Ratu (istri) Mas Pasuruan, bersuami Pangeran Bungkaran Pepatih di Sampang,
  5. Ratu (istri) Ayu bersuami Pangeran Kasenaran.
Beliau juga mempunyai putera-puteri dengan selir, yaitu:
  1. Kiyai Dipati Pakatjangan,
  2. Pangeran Tumenggung,
  3. Pangeran Demang,
  4. Pangeran Pusponagoro,
  5. Pangeran Padmonagoro,
  6. Pangeran Ronggo,
  7. Mas Ayu Ireng, istri Pangeran Musarrip di Arosbaya,
  8. Mas Ayu Kuning,
  9. Mas Ayu Puspantoro,
Pada masa pemerintahan beliau, seluruh Madura yang sekarang menjadi Kabupaten Bangkalan dan Sampang takluk pada beliau. Beliau mengambil menantu  seseorang berbangsa Arab yaitu bangsa Syarif yang terkenal dengan nama Pangeran Musarrip di Arosbaya dengan puterinya yang bernama Mas Ayu Ireng. Dalam tulisan cerita-cerita mengenai Madura, Pangeran Musarrip memakai nama Arab Chalifah Husein  (bukan saudara Raden Patah). Nama tersebut salah dipakai “Al-Husein” yang berarti turunan dari Syarief Husein. Menurut sejarah tanah Jawa yang cocok dengan taba’ Arab, turunan sebenarnya adalah sebagai berikut:
Pada pertengahan abad ke-15 seorang Arab bangsa Syarief yaitu turunan dari Sayidina Husein, putera Siti Fatimah yang lebih muda dari Sayidina Hasan, turun ke tanah Jawa di Tuban. Pada masa itu Agama Islam masih sangat dihormati oleh pemeluk-pemeluknya yang baru meninggalkan agama Buddha, maka tamu tersebut menjadi guru besar dalam agama Islam. Tamu ini bergelar Syarief Djamaluddin al Akbar, oleh orang Jawa disebut Djamadul Akbar. Nama tersebut sebenarnya hanya julukan beliau. Nama yang sebenarnya adalah Muhammad Husein atau juga dikenal dengan Makdum Ibrahim Hasmoro. Beliau dilahirkan di tanah Kamboja, yang disebut Tjempa. Beliau menyebarkan agama Islam ke beberapa daerah di kepulauan Indonesia. Kemudian beliau meninggal di tanah Toraja. Waktu beliau turun ke tanah Jawa, semua keluarganya ada yang ikut serta dan ada pula yang menyusul (istri, anak, dan cucu-cucunya), hanya tinggal seorang anaknya yang tinggal di Kamboja, bernama Syarief Achmad, akan tetapi kemudian menyusul ke Tanah Jawa yaitu di daerah Surabaya. Keluarga tersebut terdiri dari seorang istri, 17 anak-anaknya dan 6 orang sanak keluarganya. Nama anak-anak beliau yang terkenal adalah sebagai berikut:
  1. Muhjil Islam,
  2. Rachmatullah alias Raden Rachmad Sunan Ampel,
  3. Sunan Lembajung Fadal (Raja Pandita),
  4. Syarief Zainal Akbar alias Ibrahim yaitu ayah Raden Paku Sunan Giri.
  5. Maulana Hisamuddin (Sunan Lamongan),
  6. Nurul Alam Ali,
  7. Syarief Achmad, yang turun ke surabaya sebagaimana yang diceritakan di atas.
Syarief yang nomor 7 itu mempunyai anak bernama Raden Hafie. Ia menurunkan Syarief Muhammad Djuharija, dan orang ini menurunkan Syarief Achmad Al Husaini yaitu yang disebut Pangeran Musarrip di Arosbaya, suami dari Mas Ayu Ireng. Ia mempunyai anak bernama Syarief Kaffie yang kemedian meninggal di Pulu Pinang (Filipina), akan tetapi meninggalkan anak di Arosbaya, bernama Raden Masigit, kemudian disebut Pangeran Masigit dan dikuburkan di dekat mesigit Arosbaya. Raden Masigit diambil menantu oleh Pangeran Tjakraningrat IV lalu memakai gelar Raden Onggowidjojo dan kemudian bergelar Pangeran Onggowidjojo, mempunyai putera benama Raden Ario Suriowinoto di Arosbaya yang diambil menantu oleh Panembahan Tjokroadiningrat V (Sidho Mukti) dengan puterinya R. Ayu Angger, akan tetapi tidak menurunkan putera. Raden Ario Suriowinoto dengan selirnya menurunkan putera yang bernama: 1) Raden Surjowinoto di Arosbaya dan; 2) Raden Suriokusumo di Arosbaya.
Disebutkan dalam babad Madura, bahwa Panembahan Lemahduwur meninggal di Arosbaya pada tahun 1592 M. lantaran sakit bisul dibelakangnya sesudah beliau bertamu ke Panembahan Ronggo Sukowati di Pamekasan yaitu mengenai keris Kiyai Djokopiturun. Setelah Panembahan Lemahduwur meninggal dunia. Yang menggantikan beliau di Arosbaya adalah puteranya yang bernama Pangeran Tengah yaitu Raden Koro. Dalam pemerintahan beliau, Blega yang berada di bawah perintah saudaranya (Pangeran Blega) tida suka berada di abwah pemerintahan Arosbaya, oleh karena itu terjadi pepernagan antara Arosbaya dan Blega. Pertempuran tersebut terjadi sampai tiga kali, namun Arosbaya tidak dapat mengalahkan Blega karena kepandaian Pepatih Blega yang bernama Gusti Macan. Karena kuatir rakyat akan banyak mati, maka Pangeran Tengah meminta kepada Pangeran Blega supaya perang dihentikan, permintaan tersebut dituruti oleh Pangeran Blega. Pada suatu hari Pangeran Blega ke Arosbaya untuk memperbaiki (membenahi) kuburan ayahnya (Panembahan Lemahduwur) bersama-sama dengan Pangeran Arosbaya. Pada saat itu Pangeran Arosbaya menanyakan pada Pangeran Blega barangkali Pepatih Gusti Macan juga hadir ke Arosbaya, pertanyaan tersebut dijawab oleh Pangeran Blega bahwa patihnya tidak ikut, karena harus menjaga Blega.
Maka pada saat Pangeran Blega akan pulang dari Arosbaya, Pangeran Arosbaya menitipkan suatu kiriman untuk pepatih Blega, berupa selembar dodot (pakaian kebesaran) yang terbuat dari kain sutera kuning. Sesampainya Pangeran Blega di rumahnya, maka kiriman tersebut segera diberikan kepada patihnya. Patih Blega sangat girang menerima kiriman tersebut sehingga dodot tersebut dipakai tidur malam dibuat selimut. Keesokan harinya sang Patih bangun dari tidurnya, ia merasa seluruh badannya kaku tidak dapat bergerak, lalu meninggal. Orang-ornag menyangka dodot tersebut berisi racun. Setelah Gusti Macan meninggal, Pangeran Blega menjadi khawatir dan takluk di bawah pemerintah Arosbaya.
Pada tahun 1596 M, kapal-kapal Belanda yang mencari hubungan perdagangan di daerah kepulauan Indonesia sampai di tanah Jawa dan mendarat di beberapa pelabuhan, juga pelabuhan Sidayu. Kapal-kapal tersebut ada di pesisiran Sidayu banyak yang dirampok oleh rakyat Sidayu hingga banyak kerugiannya. Sesudah itu kapal tersebut pergi dari Pantai Sidayu dan mendarat di pantai Madura yaitu di Arosbaya pada tanggal 6 Desember 1596 M. kapal-kapal tadi bernama “Amsterdam”, “Houtman”, “Kaeren” dan “Mauritius”. Utusan kapal datang pada Pangeran Tengah yang mengatakan akan mencari hubungan dagang. Pangeran Tengah mengirimkan utusannya terdiri dari Patih Arosbaya bergelar Kiyai Ronggo dan Penghulu Arosbaya bergelar Pangeran Musarrip. Utusan tersebut oleh Belanda diperkenankan bertamu ke kapal “Mauritius” akan tetapi karena para utusan pada waktu itu tidak mengerti, maka utusan itu mendatangi kapal “Amsterdam” dengan diiringi beberapa pengikutnya. Pihak Belanda salah menyangka orang-orang tersebut akan merampok seperti di pesisir Sidayu. Lalu terjadilah perkelahian hebat yang menyebabkan meninggalnya Patih Arosbaya dan Pangeran Musarrip. Setelah kejadian tersebut, kapal-kapal itu segera meninggalkan Arosbaya.
Pada tanggal 5 Februari 1597, datang lagi beberapa buah kapal Belanda ke pantai Arosbaya di bawah pimpinan Tuan Van Neck, yaitu kapal “Warwijk” dan “Heemskerck”, bermaksud akan membeli beras. Pemerintah Arosbaya teringat akan kejadian pada tanggal 6 Desember 1696, dan segera merampok kapal tersebut dan membunuh sebagian awak kapal  sedangkan sisanya ditawan. Pada tanggal 14 Februari 1597 M kapal-kapal meninggalkan pantai Arosbaya setelah para tawanan ditebus dan dimerdekakan dengan uang 2000 real.
Pada tahun 1621 M, Pangeran Tengah meninggal, dengan meninggalkan seorang putera laki-laki yang masih di bawah umur bernama Raden Praseno. Raden Ayu dari Pangeran Tengah setelah suaminya meninggal lalu pulang ke Sampang (Madekan) sampai meninggal di Madekan. Raden Praseno turut ibunya ke Madegan. Yang mengatur pemerintahan di Arosbaya adalah adik dari Pangeran Tengah yang bernama Pangeran Mas. Di bawah kepemimpinan beliau, seluruh Madura ditaklukkan oleh Sultan Agung di Mataram pada tahun 1624 M. Yang diangkat memerintah di seluruh Madura adalah Raden Praseno dengan gelar Pangeran Tjakraningrat I.

Source : Catatan Kecil Keluarga dan KRT. Zainal Fatah.

0 komentar :

Posting Komentar