Madura
barat sebenarnya memiliki lima buah kraton yang seharusnya bisa menjadi suatu
rasa kebanggaan luar biasa bagi rakyat Madura pada umumnya. Kraton Madura Barat
yang pertama berada di Arosbaya, kemudian berpindah ke Madegan Sampang. Kraton ketiga
adalah kraton Tonjung (Kec. Burneh). Dan Pada masa pemerintahan Pangeran
Cakraningrat IV, karena terjadinya tragedi pengrusakan kraton Tonjung oleh
pasukan Bali yang mana pada saat bersamaan Pangeran Cakraningrat IV sedang
berada di Surabaya. Adapun kaidah kraton yang rusak berarti sudah kehilangan kewibawaanya,
maka Pangeran Cakraningrat IV memindah kraton Tonjung ke Sembilangan ( Sekarang
Sudah menjadi Desa). Dan setelah Pangeran Cakraningrat IV tertangkap dan
diasingkan ke Afrika Selatan, Pangeran Cakraadiningrat V ( P. Sidhomukti)
memindahkan kraton Sembilangan ke Kraton Bangkalan yang terletak di wilayah
Kodim 0829 Bangkalan saat ini. Kelima kraton Bangkalan Madura Barat tersebut
adalah Kraton Kayu, dan tidak satupun terbuat dari Batu. Kecuali bangunan
pengganti dari Belanda setelah Kraton Bangkalan Dihancurkan yang mana terletak
di sebelah utara Kodim 0829 Bangkalan.
Bercerita
tentang kraton Sembilangan yang berdiri dengan gagah perkasa sekitar 29 Tahun
itu, dengan luas areal berkisar lima hektare (Sebagai tatanan luasan kraton
pada saat itu), ditambah alun-alun, dan beberapa sumber air, arsitektur
bangunan kraton terbuat dari Kayu Cendana dan beratapkan “Blingeh” ( Belum tahu
pasti kami jenis apa ini) yang pada sebagian tepian areal kratonnya dikelilingi
oleh perairan, dan terdiri dari bangunan Paseban, Bangunan Keputran dan
Keputren, Bangunan Harta, dimana untuk masuk kedalamnya melalui pintu “ Semesem”
dan pintu “Sketeng”, dan Dua buah Tamansareh serta beberapa sumber air.
Kerusakan
kraton bermula pada penyerangan Cakraningrat IV oleh Belanda dari Arah Gresik,
Sampang dan arah utara. Bangunan Kraton sudah mengalami kerusakan parah namun
Panembahan Sidhomukti masih mencoba mempertahankan kraton selama dua tahun
walaupun pada akhirnya memindahnya.
Pada
tahun 1891, berdasarkan Beslit no. 2/c, tanggal 22 Agustus 1885 yang
ditandatangani oleh Raja Belanda, maka Belanda menganggap keraton Bangkalan bouwvallig (tidak dapat
didiami karena rusak). Pada tahun 1891 rumah keraton Bangkalan dirusak dan
diganti dengan rumah kabupaten biasa. Anggapan Bouwvallig sebenarnya hanya
alasan dari pemerintahan Belanda yang sebenarnya berniat untuk menghapuskan
segala bukti yang dapat memperingatkan rakyat akan kebesaran dan keagungan
leluhurnya. Hal ini menjadikan Belanda juga tidak luput menghancurkan sisa
keraton di Sembilangan.
Pada
saat itu keraton Sembilangan tinggal tersisa sisi keputren beberapa ruang saja
dan sisi harta yantg masih agak utuh. Sisi harta (tempat penyimpanan harta keraton
seperti senjata, pakaian kebesaran Raja, gamelan-gamelan, Al Qur’an, berbagai
macam Hadist dan ilmu-ilmu bertuah, ilmu-ilmu kanuragan, ilmu-ilmu strategi
perang, catatan-catatan tatanan perkeratonan, blue print kerajaan, dan sebagainya). Sisi harta inilah yang
kehancurannya paling akhir, terjadi pada tahun 1891.
Menurut
R. Mas Murtisari, istri dari R. P. Moh. Ra’is menantu dari R. Ario Adikusumo
atau Guste Arjeh Alas Cicit dari Panembahan Mangkuadiningrat ( Raja Pamekasan). Berawal dari api yang datangnya dari arah selatan
(penulis lupa mengenai hari dan tanggalnya walaupun saat itu juga
diberitahukan). Pertama-tama membakar sisa keputren yang ada, yang pada saat
itu didiami oleh “Mo’ad” (tidak jelas nama lengkapnya). Kemudian datang kembali
api-api berikutnya yang langsung menyambar sisi atap dari sisi harta kraton.
atap yang memang terbuat dari kayu tipis tersebut langsung terbakar, api
menghabiskan bangunan tersebut dalam waktu singkat. Dua sisi sisa-sisa
peninggalan keluhuran perjuangan para leluhur Madura menjadi arang dalam
sekejap. Tidak ada yang tertolong kecuali hanya sedikit. Masyarakat yang berada disekitar nya walaupun mencoba membantu memadamkan api, namun tak berarti apa-apa karena begitu dahsyatnya kobaran api yang disertai angin dari laut menambah ganasnya kobaran sang jago merah tersebut. Api melahap semua yang ditemuinya dimana rata-rata terbuat dari kayu dan papan.
Gamelan
Cakraningrat IV yang bernama “Se-Rese’ “ dan "Se-Carbuk" itu masih terselamatkan. Sebuah peti
dan sedikit pusaka-pusaka keraton masih selamat, namun itu hanya berkisar
seperdelapan dari jumlah harta keraton yang ada. Sungguh sangat luar biasa
kejadian saat itu. Kekejaman Belanda tidak
hanya terbatas pada manusianya saja, tetapi harta-harta yang akan
menjadikan rasa kebanggaan bagi masyarakat Madura pun ikut pula dilenyapkan.
Lenyap tak berbekas. Sehingga pada saat
ini hanya tinggal sisa-sisa nya saja berupa dua buah Taman Sare, dan beberapa
sumber air.
Demikian
tentang kehancuran kraton Sembilangan. Semoga menginspirasi.
Ikuti Risalah Kehancuran Kraton Sembilangan Selanjutnya.
Ikuti Risalah Kehancuran Kraton Sembilangan Selanjutnya.
Posted by : Den Mas Agus
Source : RM.Murtisari
0 komentar :
Posting Komentar