Cerita rakyat.
Puteri Kuning, ibu Jokotole bercerita
kepada nya sehingga dia mengetahui bahwa
tempat pertapaan ibunya adalah sebuah gua di Gunung Geger (Kec. Geger, Kab.
Bangkalan), dan ia mengetahui bahwa ayahnya yaitu Adipodaj (Panembahan Sapudi
yang sekarang kuburannya ada di desa Nyamplong Kecamatan dan Kawedanan Sapudi)
sedang bertapa di gunung Geger.
Kudho Panule menceritakan pada
ibunya tentang perjalannnya mulai dari awal sampai akhir, dibertahukan pula
bahwa adiknya yaitu Ario Banjak Wide telah menjadi raja di Gresik menggantikan
ayah mertuanya.
Setelah
itu, Kudho Panule meminta diri pada ibu dan kakeknya untuk bertolak ke
gunung Geger, dengan maksud menemui ayahnya yang sedang bertapa di sana. Sesampainya
di gunung geger, ia menjumpai ayahnya yang sedang bertapa disana (Adipodaj). ia
kemudian mendapatkan hadiah sebilah cemeti (pecut) dari ayahnya dan seekor kuda
yang bernama Si Mega Remeng hadiah pusaka dari pamannya (Adiroso). akan tetapi
belum diperbolehkan dibawa hanya diberitahu cara memanggil kuda dan cemeti
tersebut. Diceritakan bahwa kuda tersebut memiliki sayap, sehingga dapat lari
di atas tanah dan terbang bagaikan seekor burung. Beragam macam ilmu juga ia
terima dari ayahnya, dan ia juga mengetahui bahwa di kemudian hari ia akan
berperang dengan seorang prajurit ulung. Sebenarnya prajurit ulung tersebut
adalah Dempo Awang yaitu seorang panglima perang yang hendak menunjukkan
kekuatannya pada semua raja-raja di tanah Jawa, Madura dan sekitarnya. Ia
(Dempo Awang) dalam peperangan mengendarai sebuah kapal (perahu) besar yang
tidak hanya berlayar di lautan namun juga di daratan dan di antara bumi dan
langit. Ia dipesan oleh ayahnya, apabila nanti di kemudian hari berhadapan di
medan perang dengan Dempo Awang, ia harus lari dengan mengendarai kuda diantara
bumi dan langit yang tentunya ia akan dikejar oleh musuhnya. Apabila ia
mendengar suara pamannya (Adiroso) yang akan bersuara “Pukul!!!” maka ia harus
menahan kekang kudanya sehingga kepala kuda tersebut menoleh ke belakang dan ia
juga harus menoleh ke belakang sambil memukulkan cemetinya ke belakang. Pada
saat itu cemetinya akan mengenai kapal Dempo Awang yang pasti akan langsung
hancur lebur lalu jatuh ke tanah sampai semua isi kapal tersebut akan menemui
ajalnya.
Pada suatu saat Pangeran
Setjoadiningrat III kedatangan musuh dari negeri Cina yang bernama Dempo Awang
(dempo Abang) (sebetulnya Sampo Twawan). Musuh tersebut mempunyai kapal yang
dapat berlayar di laut, di atas gunung, dan diantara langit dan bumi. Ketika
berperang dengan Dempo Awang, Pangeran
Setjoadinigrat III mengendarai kuda pusakanyayang bernama Mega Remeng, sedangkan
musuh mengendarai kapal layarnya. Sebagaimana yang telah diceritakan di atas,
maka Pangeran Setjoadiningrat III ( Jokotole ) taat pada petuah ayahnya, lari
dengan menaiki kuda terbang diantara bumi dan langit yang dikejar oleh musuhnya
mengendarai perahu layar. Suatu saat ia mendengar suara pamannya (Adiroso) yang
berkata “Pukul!!!”, maka ia menahan kekang kudanya dengan keras sehingga kepala
kuda itu menoleh ke belakang, lalu ia sendiri menoleh ke belakang sambil
memukulkan cemetinya, dengan susah payah Dempo Awang berusaha menghindari pecut Jokotole yang menyambar-nyambar laksana kilat tersebut, sesekali kali perahunya menyentuh tanah dan membentuk goresan cukup dalam di tanah yang diikuti dengan aliran air mengalir dari laut tersebut, dimana bekas sentuhan perahu Dempoawang ini akhirnya menjadi "Songai Topoh alias Tembug". namun apalah daya, pecutan Jokotole akhirnya mengenai kendaraannya hingga hancur dan semua
isinya menjadi bangkai. Kejadian tersebut ada di atas awang-awang. Sisa-sisa kapal
Dempo awang tersebut ada sampai saat ini di kota Semarang juga kuburan Dempo
Awang (Sampo Twawan). Juga sebagian kecil pecahannya kapal itu jatuh di sungai kecamatan Sokobana (Sukuwono)
Kawedanan Ketapang, Kabupaten Sampang. Sampai sekarang sungai tersebut
dinamakan sungai Dempo Awang dan jembatan provinsi yang ada disitu disebut jembatan
Dempo Awang (Dempo Abang). Demikian juga di pesisir Bangkalan ada pecahan piring
dan layarnya yang jatuh dari kapal tersebut. Sehingga sekarang tempat itu
dinamakan Ujung piring dan layar yang sudah berubah menjad batu tersebut
disebut dengan “Batoh Lajer” yang kemudian menjadi sarang ikan, tiram, dan
kerang. Adapun kata “Ujung” pada nama Desa “Ujung Piring” itu berasal dari kata
“OJONG” (Madura Red.) dimana lokasi desa tersebut berada pada daratan yang
menjorok ke laut dimana istilah ini dalam bahasa madura disebut “Ojong”.
Demikian sekelumit cikal bakal nama
Desa Ujung Piring Kecamatan Bangkalan Kabupaten Bangkalan. Sampai Jumpa pada episode berikutnya.
Sumber : Zainal Fatah 1956
Posted by : Den Mas Agus
0 komentar :
Posting Komentar