Pulau Mandangil - Sampang
ANTARA SEPAH DAN TEBU IBARAT
“Habis manis sepah dibuang”, yang sudah kuno itu sampai saat ini masih dikenal
orang, bahkan seringkali masih terpakai. Dalam arti sebenarnya, terlukis seruas
tebu, dikupas lalu dimakan, dihisap airnya yang manis. Jika airnya sudah
terhisap habis, tinggallah sepahnya kemudian dibuang. Hal itu dikiaskan kepada
orang yang mula-mula sangat menghargai sesuatu atau seseorang. Akan tetapi
setelah ia bosan atau tidak memerlukannya lagi, lalu menyia-nyiakahnya.
Demikianlah halnya dengan Raja Bidarba dan Madura. Raja itu mempunyai patih
bernama Bangsapati, dan mempunyai seorang pelayan yang sangat dikasihinya
bernama Bangsacara. Permaisurinya empat orang, dan masih banyak lagi istrinya
yang lain.
Di antara istri-istrinya yang
banyak itu , terdapat seorang yang bernama Ragapadmi. la rnasih muda lagi’pula
sangat cantik, lebih dan yang lain. Tidak heran jika Raja Bidarba sangat sayang
kepadanya, sehingga yang lain hampir-hampir terlupakan. Akan tetapi dengan
tidak disangka-sangka Ragapadmi terserang penyakit campak. Sekujur tubuhnya
penuh bintul-bintul. Ketika bintul-bintul itupecah, melelehlah nanah tak
henti-hentinya. Ragapadmi yang semula cantik molek berubah menjadi sangat
jelek. Tubuhnya berbau busuk. Wajahnya yang dahulu menjadi pujaan setiap lelaki
yang memandangnya, kini bahkan tampak menakutkan karena luka-lukanya. Raja Bidarba
menjadi kesal melihat keadaan Ragapadmi. Lebih-lebih setelah diusahakan
mengobati, segala macam obat tak ada yang dapat menyembuhkannya. Raja Bidarba
lalu memanggil Bangsacara. “Hai Bangsacara! Putri Ragapadmi ternyata tídak
dapat dìobati lagi. Segala macam usaha sia-sia belaka,” demikian ujar Raja
Bidarba setelah Bangsacara datang menghadap. “Lalu bagaimana kehendak Paduka?”
tanya Bangsacara. “Begini Bangsacara” Raja Bidarba berhenti sejenak, lalu
ujarnya meneruskan, “Bawalah dia ke rumahmu. Dan ambillah sebagai istrimu untuk
selama-lamanya.” “Baiklah, Paduka. Jika memang demikian keputusan Paduka hamba
tidak akan menolak. Segala perintah Paduka akan hamba laksanakan dengan patuh.”
Kemudian raja berkata kepada putri Ragapadmi, ujarnya, “Ragapadmi kekasihku,
lakukanlah perintahku. Ikutilah Bangsacara. Mudah-mudahan engkau
menemukan kebahagiaan bersama dia.” “Apa pun perintah Paduka, meskipun harus
menjadi istri pelayan, pasti akan hamba taati,” jawab Ragapadmi.
Ketika Bangsacara dan Ragapadmi
meninggalkan istana, hari masih pagi. Matahari belum sampai sepenggalah
tingginya,sehingga panasnya belum menyengat kulit. Lebih-lebih karena
gumpalan-gumpalan awan agak tebal di ufuk timur menghalang sinar yang akan
memancar. Suasana itu membuat alam pagi tidak berseri. Kicau burung pagi sudah
lenyap. Angin pun sama sekali tidak berhembus. Alam seolah-olah menahan napas
melihat kemuraman wajah Bangsacara dan kedukaan Ragapadmi. “Sungguh malang
nasibku ini. Tak berharga dan tak berdaya.Semua menjauhi diriku. Bahkan raja
pun sampai hati pula mengusir diriku dan istana. Bagaimana aku tidak akan
menangis mengingat itu semua!?” Demikian keluh-kesah Ragapadmi sepanjang jalan.
Kemudian air matanya meleleh bercucuran, dan tangisnya tak tertahan lagi.
Iba juga hati Bangsacara melihat
keadaan Ragapadmi, meskipun sebenarnya terasa sangal berat untiik melaksanakan
perintah Raja Bidarba. Ltulah sebabnya ia tampak muram. la mengelüh dalam hati,
“Mengapa aku harus mengawini perempuan penyakitan seperti ini?” “Adinda
Ragapadmi, jangan engkau menangis sepanjang jalan seperti itu . Tidak pantas
dilihat orang!” “Baik, Kakang! Akan tetapi pintaku padamu,. tepatilah janjimu
di hadapan raja. Kasihanilah diriku. Aku bersumpah akan tetap setia kepadamu
sampai akhir hayatku,” jawab Ragapadmi.Ibu Bangsacara tinggal di sebuah dusun
jauh dan kota. la hidup sendiri, mendiami sebuah rumah kecil yang sederhana, akan
tetapi kelihatan bersih dan rapi. Umurnya sudah mendekati setengah abad.
PekerjaaflnYa yang tetap sebagai penjaga sebuah makam atau juru kunci.
Seperti biasa sore itu ia sedang
menyapu halaman depan rumahnya. Di saat itu lah muncul Bangsacara dan Ragapadmi
di halaman. Dengan tergopoh-gopoh ibu Bangsacara menyongsong kedatangan
anaknya. Sambil memeluk mesra seraya ia bertanya, “Bangsacara! Siapa temanmu
itu? Dan mengapa tubuh nya penuh luka mengerikan seperti itu? ”Bangsacara lalu
menceritakan siapa sebenarnya perempuan yang ia bawa, dan bagaimana perintah
Raja Bidarba kepadanya. Pada akhir ceritanya, Bangsacara berkata, “Akan tetapi
berat sungguh hatiku untuk melaksanakan perintah itu.” “Mengapa?” tanya ibu
Bangsacara terkejut mendengar kalimat anaknya yang terakhir. Pada hal semula
wajahnya tampak berseri seri, bibir tersenyum simpul, sedang kepalanya
terangguk-angguk.Kini senyum orang tua itu lenyap. Wajahnya yang tidak lagi
berseri terangkat menatap anaknya dengan sorot mata penuh pertanyaan. Ketika
Bangsacara tergagap dan tidak segera menjawab, orang tua itu mempertegas
pertanyaannya. “Mengapa engkau hendak mengingkari janji dan menentang perintah
raja,anakku?Mengapa?” “Ibu! Buat apa aku kawin dengan seorang putri, tetapi
tubuh nya penuh luka seperti itu,” jawabnya sambil menunjuk Raga padmi, lalu
ujarnya lebih lanjut, “Lebih baik aku tidak kawin selama-Iamanya daripada kawin
dengan perempuan busuk.” “Tetapi itu berarti engkau ingkar janji dan menentang
perintah raja. Jangan begitu, Nak!” Peringatan itu sia-sia. Tanpa memperdulikan
kata-kata ibunya, Bangsacara mengambil segenggam tanah. Dan sambit menaburkan
kembali tanah itu dari genggamannya, ia berkata lantang, “Langit dan bumi
menjadi saksi! Aku bersumpah! Seandainya aku sampai mengambil Dewi Ragapadmi
menjadi istriku, aku rela tubuhku hancur lebur seperti Ieburnya tanah yang aku
taburkan ini!” Hancur luluh perasaan Putri Ragapadmi mendengar ucapan itu.
Sedangkan ibunya, sebagai orang yang taat beribadat menjadi cemas. la
berpendapat bahwa sumpah itu sangat berbahaya. Dengan suara parau karena
rnenahan gejolak hati, ia masih mencoba memperingatkan anaknya. “Wahai anakku
Bangsacara! Mengapa engkau bersumpah seperti itu ? Seandainya engkau
betul-betul tidak mau, ya sudah lah. Tetapi tak usah bersumpah segala. Tak baik
kelak kesudahannya. Tidak mau, ya cukup tidak engkau laksanakan. Jadi tidak ada
kemungkinan engkau melanggar tabu. Tidakkah engkau takut seandainya terkena
laknat Tuhan?” Bangsacara sadar juga akan keterlanjurannya. Tunduk terpekur,
dan sepatah kata pun ia tidak menjawab peringatan ibunya, sampai orang tua itu
meneruskan kata-katanya. “Serahkanlah Putri Ragapadmi kepadaku, dan tinggalkan
dia di sini. Engkau tidak sudi, akan tetapi aku akan mengambilnya sebagai
anakku. Sedapat-dapat akan aku rawat dan akan kucoba mengobati penyakitnya.
Mudah-mudahan Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang rnelimpahkan pertolongan.”
Tentu saja Bangsacara menyetujui permintaan ibunya.
Tidak lama kemudian ia minta
ijin kembali ke istana. “Lama benar aku menunggu kedatanganmu, Bangsacara
Bukankah baik-baik saja perjalananmu?” tanya Raja Bidarba setelah Barigsacara
datang menghadap. “Berkat restu Paduka perjalanan harnba tidak menernui
rintangan apa pun. Hamba agak terlambat, karena harus berunding dengan orang tua
hamba.” “Bagaimana dengan orang tuamu?” “Ibu hamba akan berusaha mengobati
penyakitnya.” “Syukurlah jika dernikian. Mudah-rnudahan ia dapat sembuh dan
kembali seperti sediakala.” Mendengar kata-kata Raja Bidarba yang terakhir itu
Bangsa cara tidak menyahut. Kepalanya semakin tunduk, dan tiba-tiba hatinya
berdesir, selintas teringat akan sumpahnya. Sementara itu sepeninggal
Bangsacara, ibunya membimbing Ragapadmi masuk kedalam rumah. perempuan tua
penjaga makam itu memeriksa penyakit Ragapadmi. Dahínya berkerut.
Akan tetapi setelah ia
mengetahui dengan pasti apa penyakit Ragapadmi, ketegangan wajahnya seketika
lenyap. Seulas senyuman dan seleret harapan terbayang di matanya, lalu ujarnya
dengan suara keibuan, “Ragapadmi, kuatkanlah hatimu menerima cobaan ini. Mariah
kita mohon pertolongan Tuhan, semoga usaha ibu berhasil.” “Sangat besar hutang
budiku pada ibu . Aku pasti tidak akan kuasa membalaSnya,” jawab Ragapadmi.
“Jangan kau pikirkan hal itu. Sudah lazim, manusia harus tolong menolong.
Apalagi engkau sudah kuanggap sebagai anak sendiri.” Malam telah berlalu. Fajar
pagi hampir menyingsing. ibu tua penjaga astana telah siap hendak pergi ke
pasar. Setibanya di pasar ia langsung menuju penjual ramuan jamu yang juga
menjual prusi. Sebongkah prusi sebesar kepala bayi ditanyakan berapa harganya.
“Berapa harga prusi itu ?”
ujarnya sambil menunjuk. Penjualnya terheran-heran. Pikirnya, “Akh! Nenek-nenek
ini masih sempat juga bergurau,” oleh karena itu dengan acuh tak acuh ia
menjawab, “Empat rupiah!” “Seringgit ya!?” Si penjual mengangguk. Masih
bercampur heran ia memandang pembelinya. ibu penjaga astana tidak
memperdulikan. Cepat ia membayar, dan setelah menerima bungkusan prusi,
cepat-CePat ia pergi. Pulang. Tanpa mengenal lelah, setibanya di rumah langsung
mengambil lumpang dan antan. Prusi ditumbuk halus, ialu ditebar rata disebuah
nyiru dan dijemur di atas teratak bambu di samping rumah Kemudian tiba giliran
Ragapadmi di bawa ke kamar mandi. “Cebar cebur, cebur, cebur, cebur,” suara air
menyirami sekujur tubuh Ragapadmi. Dengan hati-hatí dan teliti Ibu angkat
Ragapadmi membersíhkan Iuka-iuka dan nanah-nanah kering hingga benar-benar
bersih. Sesudah selesai mandi, tepung prusi yang sudah dijemur ditaburkan di
sekujur tubuh yang penuh luka. Prusi senyiru itu habis. Terkena oleh daya obat
tersebut Ragapadmi pingsan tak sadarkan diri Sehari semalam ia tetap diam belum
juga siuman. Hampir-hampir seperti mati. Pagi berikutnya barulah ia sadar
bertepatan dengan terbitnya matahari. Akan tetapi belum mampu bergerak. Tiga
hari kemudian luka-lukanya sudah kering. Baunya yang busuk sudah lenyap. Dan
beberapa hari kemudian kulitnya mulai mengelupas. Pada tahap mengelupas itu,
rupa Ragapadmi tidak keruan lagi. Jelek sekali. Seperti kain yang dekil dan
cabik-cabik menyerupai sisik-sisik menganga. Akan tetapi setelah kulit-kulit
yang mengelupas itu rontok seluruhnya, ja telah menjelma kembali menjadi
seorang putri yang cantik jelita, lebih cantik dari sebelum ia sakit campak.
Ragapadmi kini laksana bulan purnama yang baru saja terbit menjenguk alam senja
di ufuk timur. Kulit nya yang kuning langsat menjadi semakin cemerlang karena
dirawat dengan teliti. Setiap hari dilulur dengan mangir wangi, sehingga
kulitnya saja telah membikin pesona tersendiri. Keadaannya telah benar-benar
pu!ih, bahkan nampak tebíh cantik. Kini pekerjaannya setiap han membatik,
menenun kain limaran serta kain songket bersulam benang emas.
Bunga kenangaungu selalu
terselip di sanggulnya. Dan jika sedang bekerja, tempat sirih dari emas selalu
tersedia di hadapannya. Ibu angkatnya,setiap han sehabis bekerja selalu
menungguinya ketika Ragapadmi tengah mengerjakan pekerjaannya. Demikian
kagumnya ia akan kecantikan anak angkatnya, hingga tenlongong-longong melompong
memandangi Ragapadmi. Terlintas dalam angan-angan,“Alangkah senangnya hatiku,
jika Ragapadmi ini menjadi menantuku.” Akan tetapi tiba-tiba ia teringat akan
sumpah anaknya. lasangat menyesali kelakuan anaknya, sehingga tanpa ia sadari
ia menarik nafas panijang. Bibirnya terkuak sedikit. “Aaaaaaakh!” keluhnya
panjang mengejutkan Ragapadmi. “Mengapa ibu mengeluh? Apakah yang ibu
sedihkan?” Tanya Ragapadmi sambil memandang ibu angkatnya. “Tidak apa-apa. Aku
hanya teringat kakangmu, Bangsacara,” jawabnya jujur. “Ya, memang, kakang sudah
lama tidak pulang. Mungkin malahan tidak akan pulang.” “Mengapa?” “Barangkali
takut atau jijik melihat aku.” “Ragapadmi! Apakah engkau masih marah kepada
kakangmu?” “Marah? Tidak, Bu. Bahkan sebenarnya sayalah yang takut pada kakang.
Terutama takut pada sumpahnya.” “Aaaaaakh!” sekali lagi perempuan itumengeluh
panjang., dan kermudian keduanya terdiam. Mereka tidak tahu bahwa pada waktu
yang hampir bersamaan Bangsacara teringat kepada Ragapadmi. Mendadak ia ingin
pulang ke kampungnya. Lalu ia menghadap Raja Bidarba. “Baginda, jika sekiranya
ada berkenan paduka, hamba ingin menjenguk ibu ke kampung karena rasanya telah
lama hamba tidak bertemu. Dan hamba akan segera kembali ke mari.” “Baiklah
Bangsacara Aku perkenankan tetapi jangan terlampau lama engkau tinggal di
sana.” Setelah mendapat perkenan raja, Bangsacara mohon diri lalu segera
berangkat dengan Iangkah-langkah cepat.
Baru setelah rumahnya tinggal
beberapa puluh langkah lagi ia memperlambat Iangkahnya. Ketika ia membelok di
halaman, entah mengapa tiba tiba hatinya berdesir. Bangsacara tertegun sejenak.
Lalu perlahan lahan ia memasuki pendapa. Ketika ibu nya melihat kedatangannya,
dengan tergopoh-gopoh menyongsong seraya meluncur sambutannya dengan nada riang
melonjak-lonjak. “E, eeeel Kiranya engkau datang Bangsacara. Baik-baik saja
bukan, perjalananmu?” “Selamat Bu, berkat restu prabu.” Bangsacara akan
menanyakan keselamatan penghuni rumah. Akan tetapi tidak sempat lagi, karena
ibu nya sudah masuk kembali ke dalam rumah. Bangsacara tidak tahu mengapa
ibunya seolah-olah jadi sibuk seperti seorang sutradara mengatur para pemain
drama. Memang, perempuan tua itu sedang mengatur pertemuan antara Bangsacara
dengan Ragapadmi. Di dalam ia berkata setengah berbisik.
“Rãgapadmil Lihatlah itu
kakangmu dãtàng. Sambutlah dia,dan jangan lupa bawalah tempat sirih mu” Pada
waktu itu Ragapadmi mengenakan kain limaran. Kembennya berwarna jingga bergaris
tepi ungu, sewarna dengan bunga kenanga yang selalu terselip di lekuk
sánggulnya. Sambil menyangga tempat sirih di tangan kin, ia keluan menuju
pendapa. Langkahnya lemah gemulai. Seraya mengangsurkan cerana ia berkata,
“Selamat datang Kakang. Silakan meramu sirih terkarang dengan tembakau dan
Semarang, sedangkan kapurnya buatan Surabaya.” Bangsacara seolah-olah tidak
mendengar sapaan Ragapadmi. Kekagumannya telah merenggut kesadaran hatinya.
Perasaannya seperti sedang bermimpi didatangi bidadari. Biji matanya keluar dan
berputar-putar makin lama makin lebar. Dan tiba-tiba tubuh nya menjadi kaku,
pikirannya beku. Kesadarannya lenyap sama sekali terpagut keadaan yang sama
sekali tak pernah diduganya. Bangsacara lupa diri, la jatuh terjerembab dan
pingsan. Ibunya dengan tergopoh-gopoh menolong sambil memanggil-manggil nama
anaknya. “Bangsacara! Bangsacara! Kenapakah engkau Bangsacara!?” dan kemudian
ia memanggil anak angkatnya, “Ragapadmi tolonglah kakangmu ini Nak, lekas.”
“Aku tidak berani, But Aku takut. Aku masih ingat bagaimana waktu itu Kakang
Bangsacara demikian enggannya kepadaku. Ibu pasti belum lupa ketika Kakang
Bangsacara bersumpah dengan mçnaburkan tanah. OIeh karena itubagaimana mungkin
aku boleh membantu. Aku tidak mau dipersalahkan. Bahkan barangkali akan didakwa
telah menghancurkan sumpahnya. “Demikian jawab Ragapadmi dengan suara
lemah-lembut fetapi tegas. Akan tetapi ibu angkatnya masih mencoba membujuk,
ujarnya,
“Anakku Ragapadmi! Janganlah
engkau bersitegang. Kasihanilah kakangmu, Ragapadmi! Berilah ia obat, yaitu
dengan cara meludahinya. Dalam hal ini akulah sesungguhnya yang harus kau
ingat. Akulah yang minta kau kasihani. Sebab jika kakangmu terlanjur mati, mungkin
aku akan menjadi gua dan bergelan dangan sepanjang jalan. Sampai hatikah engkau
melihat aku demikian?” Suara orang tua itu semakin merendah dan merendah karena
menahan tangis. Meskipun demikian ia masih meneruskan kata-katanya yang belum
selesai, lalu sambungnya, “Seandainya Bangsacara marah dan menganggap engkau
telah berbuat salah, katakanlah bahwa itu atas permintaanku. Akulah yang
bertanggungjawab.” “Baiklah jika demikian. Aku hanya sekedar memenuhi
permintaan,” jawab Ragapadmi lembut. Sambil menjawab ia meraih tempat sirih,
yang tadi terlempar ketìka Bangsacara jatuh pingsan. la mengambil dua lembar
daun sirih, sejimpit kapur, secuil pinang dan gambir. Kemudian dikunyahnya
lambat-lambat, seraya menggeser letak duduknya diarah kepala Bangsacara. Jaraknya
kira-kira sejauh orang meludah. “Cuh!” Ragapadmi meludah. Tepat ketika tubuhnya
kena itu dan Bangsacaa tampak begerak. Matan ya terbuka berputar-putar tetapi
belum kuasa bangkit. “Ulangi sekali lagi, Ragapadmi!” pinta ibu angkatnya, dan
yang diperintah menurut. Ludah sirih yang kedua terpercik sudah. Bangsacara
serentak bangkit, langsung menangkap kedua lengan Ragapadmi. Ragapadmi terkejut
dan berusaha melepaskan tangannya. Akan tetapi meskipun ia telah menarik sekuat
tenaga, usahanya sia-sia belaka. Bangsacara mengukuhi pegangannya seperti elang
mencengkeram anak ayam. Perlahan-lahan ia mendekat, kemudian pinggang Ragapadmi
dipeluk, tubuhnya diangkat ialu dibawa duduk dibalai-balai.
Dalam keadaan demikian terasa
pilu kalbu Ragapadmi. Hatinya berdesir hebat sekali hingga matanya
berkunang-kunang dan ronanya mendadak menjadi pucat pasi. Tulangnya terasa
seperti terlepas, sungsumnya seperti lolos, la terkulai pingsan dipangkuan
Bangsacara. Sekarang Bangsacaralah yang cernas setengah mati. “Ragapadmi,
Ragapadmi! Kenapa engkau ini? Tegakah engkau padaku? Bangunlah Ragapadmi, jika
engkau benar-benar saying kepadaku. Bangunlah!” Tak henti-hentinya Bangsacara
mencoba menyadarkan Ragapadmi dan pingsannya dengan kata-kata yang Iemah
lembut. Rambutnya dibelai-belai mesra, sedangkan bibirnya dikecup
berulang-ulang dengan harapan agar supaya lekas dapat berbicara. Sesudah
beberapa saat lamanya, perlahan-lahan Ragapadmi mulai sadar akan dirinya.
Dengan suara lirih bercampur tangis ia berkata, “Jangan Kakang, jangan!
Lepaskan aku. Hatiku kacau tak menentu.” “Kacau? Bolehkan aku mengetahui apa
gerangan sebabnya?” tanya Bangsacara dengan nada mesra. “Sebabnya ialah, karena
aku masih ingat benar apa kata-kata Kakang Bangsacara dulu. Pernyataan ketidak
sudian kakang kepadaku seperti banjir melanda pasir di pinggir sungai. Bahkan
seperti api menerjang ilalang kering. Sekarang ternyata kakang tidak menepati
janji. Kakang telah melanggar sumpah kakang sendiri, sehingga aku ngeri.
Jangan-jangan sumpah kakang akan benar-benar terjadi.” “Oh, maafkanlah aku,
Ragapadmi! Aku benar-beriar menyesal, Menyesal sekali. Kini aku sangat
mendambakan cintamu, sebagai pelerai hati yang amat pilu. Mudah-mudahan cinta
mu yang tulus akan melepaskan aku dan kematian yang mengerikan.” Sejak
berangkat meninggalkan istana, Ragapadmi memang telah berjanji dalam hati akan
setia sampai mati pada Bangsacara. Kini Bangsacara mohon cintanya yang tulus
serta kesetiaan yang murni. Meskipun mula-mula ia ngeri, akan tetapi akhirnya
melemah dan pasrah. Pasrah pada Bangsacara serta pasrah pada kekuasaan dan
takdir Illahi. la pun berharap, seperti harapan Bangsacara. Dan diruang dalam,
dibalik dinding seorang wanita tua juga mengembang harapannya. Dikelopak
matanya tergenang air mata bahagia. “Semoga anak-anak ku tetap rukun dan
sejahtera.” Ujarnya Lembut. By : S.Z. Hadisutjipto
Posted by : Den Mas Agus
0 komentar :
Posting Komentar