P. Cakraningrat IV ( 1718-1745 ), Beliau adalah saudara dari Pangeran Cakraningrat
III. Pada masa pemerintahannya Kraton Tonjung dipindah ke Sembilangan. Kraton Sembilangan
yang struktur bangunannya terbuat dari Kayu Cendana dan beratapkan
“Blingeh’”(Bhs. Madura) itu berdiri dan dilestarikan oleh keturunannya sampai
pada akhir abad ke 18. Pada akhir abad ke 18 Tepatnya Tahun 1891, kebakaran dahsyat
menghabiskan seluruh sisa-sisa kraton. Adapun sisa-sisa kayu yang masih bisa
dipergunakan di jadikan sebuah Musholla yang terletak di Dusun Sembilangan
Barat desa Sembilangan. Namun pada era 1990an, Musholla tersebut tidak terawat
dan dirobohkan oleh Raden Panji Basoenastomo yang merupakan keturunan dari
Cakraningrat IV trah dari Te Arjeh Alas atau Raden Panji Aryo Adikoesoemo cicit dari P. Cakraningrat IV.
Menilik
peristiwa terbakarnya kraton Cakraningrat IV, banyak benda-benda pusaka yang
hangus bersamanya, dari banyak peti sisa peninggalan beliau, Raden Mas
Murtisari yang mana saat kebakaran terjadi beliau baru 40 hari melahirkan putranya Raden Panji Basoenastomo, berusaha
menyelamatkan barang-barang berharga peninggalan Raja seperti Kitab-kitab
kanuragan, Buku-buku bertuah, hadist-hadist dan termasuk benda-benda pusaka
lainnya, termasuk mahkota raja. Sementara suami beliau; Raden Panji Ra’is sedang
berada diluar negeri. Namun apalah dikata, dengan segenap usaha beliau, beliau
hanya bisa menyelamatkan 7 (tujuh) peti yang berisikan sejarah-sejarah
perjuangan, ilmu-ilmu kanuragan dan satu peti berisikan pakaian kebesaran raja
lengkap dengan mahkotanya.
Bentuk
mahkota yang diceritakan oleh beliau sebelum beliau meninggal sangatlah luar
biasa indah, terbuat dari emas murni 24 karat bertaburkan intan permata dan
terdapat merah delima salah satu sisinya. Serta kilauannya akan membuat takjub
bagi setiap insan yang memandangnya.
Beberapa
tahun kemudian, tersebutlah kepala Desa Kramat bernama Abdoel Malik datang
berkunjung ke Raden Mas Murtisari dan mengutarakan keinginannya untuk meminjam
Mahkota tersebut demi pernikahan putrinya. Dan dengan dasar prasangka baik,
maka dipinjamkanlah mahkota Cakraningrat IV tersebut kepadanya dengan harapan
dapat segera dikembalikan. Dan Beliau tidak mengetahui bahwa kepala desa
tersebut telah bekerjasama dengan Belanda, sehuingga begitu pesta pernikahan
usai, Mahkota tersebut tidak kunjung jua dikembalikan dan akhirnya diketahui
bahwa itu merupakan tipu daya klebun Malik yang didukung oleh kompeni Belanda,
dan mahkota tersebut olehnya diserahkan kepada Belanda dan tidak ketahuan
rimbanya hingga sekarang.
Kejadian
tersebut membuat amarah luar biasa pada Raden Mas Murtisari beserta segenap
keluarga besarnya, namun nasi sudah menjadi bubur, apalah daya hanya doa yang
dipanjatkan kepada Yang Maha Agung, Alloh SWT. Atas kejadian tersebut. Sehingga
kejadian luar biasa menimpa Kades Malik disaat dia meninggal dunia, yaitu
lidahnya terjulur keluar panjang sekali sehingga menyentuh tanah.
Beberapa
tahun kemudian, Raden Panji Moh. Ra’is suami dari Raden Mas Murtisari datang
dari luar negeri, setelah mengetahui kejadian tersebut, beliau memutuskan untuk
tidak lagi bepergian jauh. Namun Alloh SWT. Berkehendak lain, lagi-lagi prahara
melanda.
Bermula
dari pamannya, Raden Panji Aryo Djamal atau yang lebih dikenal dengan sebutan
mbah Joyo, mempelajari ilmu kanuragan peninggalan Cakraningrat IV tanpa
pendamping, maka beliau salah arah. Sehingga pikirannya tak menentu dan secara
diam-diam membakar keenam peti sisanya tersebut dibelakang rumahnya. Hal ini
diketahui oleh RM. Murtisari namun sudah terlambat juga karena api sudah
melalap semua perbendaharaan didalamnya. Api tersebut tidak berwarna merah
namun berwarna biru serta berkobar terus menerus selama tujuh hari tanpa padam
sedetikpun. Sungguh suatu keanehan yang nyata dari bekas peninggalan para raja
masa lalu di Sembilangan.
Singkat
Cerita, Kehidupan Raden Mas Murtisari jatuh miskin dan serba kekurangan,
sehingga pusaka-pusaka peninggalan berupa keris-keris, tombak, kuningan dan
sebagainya terjual sedikit demi sedikit untuk kehidupannya. Penulis sendiri
masih ingat banyak macam perlengkapan yang terbuat dari kuningan terjual kepada
pembeli yang bernama “Marsolang” untuk menghidupi keluarga, saat itu penulis
masih kecil dan belum tahu banyak betapa berharganya barang-barang tersebut.
Sedangkan
senjata-senjata berupa keris dan sebagainya selain dijual banyak juga yang
diberikan secara Cuma-Cuma kepada masyarakat. Salah satunya yang terjual kepada
Bapak We’an ( Pelinggian Barat Desa Kramat ) dan juga diberikan kepada Bapak Ri
juga kepada Bu’ Romli Pelinggian Barat, Termasuk sawah yang digadaikan kepadanya
hingga kini masih belum di tebus juga.
Demikianlah
sekilas tentang Mahkota Cakraningrat IV, cerita ini bersumber langsung dari RM.
Murtisari dan keturunannya.
Sampai
jumpa pada artikel berikutnya tentang catatan Sejarah asli dari Sembilangan.
Untuk Versi Lengkapnya silakan hubungi atau R.P. Abd. Hamid Mustari Cakraadiningrat selaku ketua Paguyuban
Kasultanan Bangkalan. Terimakasih.
2 komentar :
penasaran dengan benda pusaka leluhur sembilangan,,, andai bisa dikumpulkan dan ditarok dtempat yg semestinya mgkin generasi selanjutnya masih bisa menyaksikan keagungan keraton sembilangan.
Teramat sulit untuk mengejarnya kembali ke negeri Belanda.
Posting Komentar