Kamis, 15 April 2021

KÈ’ LÈSAP (1748 - 1750)

 PERANG KÈ’ LÈSAP (1748-1750)

Peristiwa Sejarah Berselimut Legenda

Oleh: Muhammad Rizki Taufan

Kè’ Lèsap? Nama ini sudah tidak asing lagi bagi sebagian besar orang-orang Madura. Banyak sekali ceritera-ceritera tentangnya, kisah dramatis yang amat fantastis, bahkan kisah ini juga “dikultuskan” sebagai asal muasal nama Bangkalan. Kendati demikian, masih banyak pula masyarakat Madura yang memperdebatkan keberadaan Kè’ Lèsap, maksudnya tentang kebenaran kisah ini. Sebagian dari mereka menganggapnya sebagai legenda belaka, namun sebagian dari mereka juga menganggapnya sebagai suatu peristiwa historis. Mari kita bahas satu demi satu.

Versi legenda, menceritakan kisah ini dengan penuh bumbu-bumbu fantasi, sehingga menghadirkan rangkaian ceritera yang cukup menarik, namun sungguh kabur. Pada versi ini, banyak sekali nama-nama tempat yang dikultuskan sebagai bagian dari kisah “perjalanan Kè’ Lèsap”. Misal kita mengenal beberapa nama, antara lain:

- Patemmon = berasal dari kata titik pertemuan

- Blega = berasal dari kata kembali

- Sampang = berasal dari kata persimpangan

- Pamekasan = berasal dari kata bekas

- Sumenep = berasal dari kata Ingsun Ngenep (Songennep)

- Burneh = berasal dari kata lèbur abinè (suka perempuan)

- Tonjhung = berasal dari kata ètonton sambi èkèjhungi (dielu-elukan sambil di-kidung-i)

- Jhuno’ = berasal dari kata èjhujjhu perro’na mrono’

- Bangkalan = berasal dari kata _Bhângka la’an_ (tewas sudah)

Hmmm, cukup menarik. Seolah-olah semua tempat yang disebutkan di atas baru saja muncul sebagai dampak dari peperangan Kè’ Lèsap. Lalu bagaimana dengan tinjauan historis dari semua tempat yang dikultuskan dalam legenda tersebut?

- Patemmon = (saya masih belum menemukan data otentik)

- Blega = Blega cukup tersohor bahkan jauh sebelum masa Kè’ Lèsap, misal kita ambil periodisasi Kerajaan Blega vs Kerajaan Arosbaya, yang terjadi pada masa pemerintahan Pangeran Tengah (R. Koro), bertahta tahun 1592-1621, sedangkan Perang Kè’ Lèsap dapat dipastikan berlangsung pada tahun 1748-1750

- Sampang = Sudah jelas bahwa Sampang termasuk kota yang sepuh, jika dibandingkan dengan Perang Kè’ Lèsap. Misal kita ambil periodisasi Kamituwo Sampang (tahun pasti belum terdata), kemudian era Kraton Madhegghân (1624-1680). Sudah jelas, Sampang bukanlah hasil kultus legenda Kè’ Lèsap

- Pamekasan = Peradaban di Pamekasan juga telah berlangsung lama, misalnya saja kita ambil periode pemerintahan Panembahan Ronggosukowati, yang sezaman dengan Panembahan Lemah Dhuwur di Arosbaya (Panembahan Lemah Dhuwur bertahta: 1531-1592). Tanpa diragukan, Pamekasan pun juga bukan “hasil dari Perang Kè’ Lèsap”

- Sumenep = Sumenep bahkan sudah banyak berperan aktif sejak masa Aria Wiraraja di abad XIII (1200-an), artinya kota ini merupakan peradaban sangat sepuh, dan tentunya telah lahir jauh sebelum era Kè’ Lèsap

- Burneh = (saya masih belum menemukan data otentik)

- Tonjhung = Tonjhung Sekar Kedhaton, sebagai pusat pemerintahan Madura pada kisaran tahun 1680 (pasca Perang Trunajaya), hingga tahun 1718 (kemudian dipindahkan ke Sembhilangan setelah huru-hara berkepanjangan), jadi sudah jelas pula bahwa wilayah ini lebih dahulu daripada ”ètonton sambi èkèjhungi”

- Jhuno’ = (saya masih belum menemukan data otentik)

- Bangkalan = Bagaimana dengan Bangkalan? benarkah berasal dari kata yang sangat ekstrim, “Bhângka la’an (tewas sudah)” ? Seperti yang kita ketahui bersama bahwa setelah Perang Cakraningrat IV berakhir, pusat pemerintahan Madura Barat telah dipindahkan ke Kota Bangkalan, yakni pada tahun 1747. Salah satu versi (pada buku Riwajat Madoera yang saya dapatkan dari Mas Agus) menyebutkan bahwa Kraton Kota Bangkalan telah berpindah dua kali, yakni Wang-Bawang (1747-1755/1756) kemudian dipindahkan ke Kraton Bangkalan yang sekarang merupakan wilayah KODIM Bangkalan (sejak tahun 1755/1756). Bila kita kembalikan pada Perang Kè’ Lèsap, terdapat selisih waktu yang sangat tipis, yakni hanya setahun saja setelah Panembahan Cakraadiningrat V yang ketika itu masih bergelar Pangeran Adipati Sacaadiningrat I memindahkan Kraton dari Sembilangan ke Bangkalan (Wang-Bawang), yakni pemindahan Kraton berlangsung pada tahun 1747, sedangkan Perang Kè’ Lèsap berkobar sejak tahun 1748 hingga 1750. Periodisasi ini cukup menarik dan sangat menjelaskan bahwa ketika itu kota dan Kraton Bangkalan telah ada, setidaknya setahun sebelum perang tersebut berlangsung. Jadi, jika kita ambil periode pemindahan kraton saja, asal muasal nama Bangkalan dari kata “Bhângka la’an (tewas sudah)” sudah terpatahkan dari sisi historis.

Lalu bagaimana legenda ini bisa muncul dan “menyelimuti” sejarah yang sebenarnya? Tentu ini menjadi misteri yang mengundang hal-hal kontroversial dan perdebatan panjang. Memang, versi sejarah telah terbuka seiring dengan data-data yang ada, namun versi legenda ini juga secara “de facto” diakui oleh sebagian besar masyarakat. Hal ini tidak terlepas dari unsur heroik pada diri Kè’ Lèsap. Kendati demikian, kita harus bijak untuk memilah, ceritera legenda cukuplah ditempatkan pada legenda, jangan sampai dijadikan sebagai tinjauan historis, dan untuk sisi historis kita memang perlu berangkat dari data-data otentik.

Satu hal lagi yang cukup menggelikan, yakni peta karya Chatelain tahun 1718, artinya usianya 30 tahun lebih tua daripada Perang Kè’ Lèsap, dan 29 tahun lebih tua daripada usia Kraton Bangkalan yang pertama. Peta ini menuliskan nama Bangkalan dengan ejaan yang sama (B-A-N-G-K-A-L-A-N), dan bahkan dengan lokasi yang sama pula seperti Kota Bangkalan saat ini. Sejarah semakin membingungkan. Wallaahua’lam bisshawwab.

Semoga, perjalanan sejarah Bangkalan, dapat terkuak satu per satu, demi generasi penerus di masa mendatang. Aamiin ya Rabb..


Referensi:

- Arsitektur Tradisional Madura Sumenep karya Z.M. Wiryoprawiro, tahun 1986, diperoleh dari Prof. Dr. H. Aminuddin Kasdi, M.S.

- Tutur legenda dan tutur sejarah dari Mbah R.P. Abdul Hamid Mustari Cakraadiningrat

- Sedjarah Madura: Sedjarah Tjaranja Pemerintahan Daerah-daerah di Kepulauan Madhura dengan Hubungannya, karya Zainal Fattah, tahun 1954, diperoleh dari Mbah R.P. Abdul Hamid Mustari Cakraadiningrat

- Manuskrip Pak Lesap bertuliskan aksara carakan (tahun tidak diketahui), diperoleh dari Om Adrian Pawitra

- Tutur legenda dari alm. Mbah R.M. Hasan Sasra

- De Opkomst X, karya De Jonge, tahun 1884, koleksi pribadi

- Madoera en Zijn Vorstenhuis (Gedenk Boek) karya R.A.A. Tjakraningrat, tahun 1936, koleksi pribadi

- Peta Jawa karya Chatelain tahun 1718, koleksi pribadi

- Riwajat Madoera karya R.P. Notosoedjono & R. Roeslan Wongsokoesoemo (tahun tidak diketahui), diperoleh dari Mas R.M. Agus La Hendra

- Tutur legenda dari Pak Drs. Didik Wahyudi